Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi pengembangan pendidikan multikultural dalam proses tranformasi lembaga pendidikan Islam. Metode yang digunakan adalah studi literatur melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 landasan pembangunan pendidikan multikultural terdiri atas landasan agama, historis, psikologis, sosiokultural dan geografis; 2 strategi pengembangan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan Islam dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Strategi pengembangan kuantitatif dengan program sosialisasi dan internalisasi melalui kegiatan keilmuan, program inovasi pendidikan multikultural, dan membangun budaya yang mengakomodir semangat dan nilai multikultural di lingkungan lembaga Islam. Sedangkan strategi pengembangan kualitatif adalah program studi intensif Al-Quran dan Sunnah Rosul, program revisi kurikulum, program diklat tenaga pendidik, dan program kearifan lokal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 128 Corresponding author yeynafista224 EVALUASI Jurnal Manajemen Pendidikan Islam is licensed under The CC BY License PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM TRANSFORMASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI DI INDONESIA Yeyen Afista, Rifqi Hawari, Umi Sumbulah Pendidikan Agama Islam, Universitas Hasyim Asyari; Tebuireng Jombang dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jawa Timur, Indonesia Abstract This study aims to analyze the development strategy of multicultural education in the process of transformation of Islamic educational institutions. The method used is a literature review through a qualitative approach. The results show that 1 the foundation of the development of multicultural education consists of the foundation of religion, history, psychology, socio-culture and geography; 2 strategies to develop multicultural education in Islamic educational institutions can be implemented through two approaches, namely quantitative and qualitative. Quantitative development strategies with socialization and internalization programs through scientific activities, multicultural education innovation programs, and building a culture that accommodates multicultural spirit and values in Islamic institutions. Meanwhile, qualitative development strategies are Al-Quran and Sunnah Rosul intensive study programs, curriculum revision programs, training programs for educators, and local wisdom programs. Keywords. Multkultural; Islamic Studies; Trasnformation; Islamic Institutions. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi pengembangan pendidikan multikultural dalam proses tranformasi lembaga pendidikan Islam. Metode yang digunakan adalah studi literatur melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 landasan pembangunan pendidikan multikultural terdiri atas landasan agama, EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 129 historis, psikologis, sosiokultural dan geografis; 2 strategi pengembangan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan Islam dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Strategi pengembangan kuantitatif dengan program sosialisasi dan internalisasi melalui kegiatan keilmuan, program inovasi pendidikan multikultural, dan membangun budaya yang mengakomodir semangat dan nilai multikultural di lingkungan lembaga Islam. Sedangkan strategi pengembangan kualitatif adalah program studi intensif Al-Quran dan Sunnah Rosul, program revisi kurikulum, program diklat tenaga pendidik, dan program kearifan lokal. Keywords. Multkultural; Pendidikan Islam; Transformasi; Lembaga pendidikan Islam. A. PENDAHULUAN Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sangat khas dibandingkan dengan wilayah dunia Muslim lainnya, terutama sejak kedatangan kekuatan-kekuatan Eropa hingga saat ini. Penyebaran dan dinamika Islam di Tanah Air diiringi dengan bangkit dan berkembangnya pendidikan Islam. Fakta bahwa Islam memberikan penekanan yang kuat pada pendidikan memotivasi para dai, para ulama, dan penguasa Muslim sejak awal sejarah Islam Indonesia untuk bekerja dengan giat mengembangkan pendidikan Islam. Untuk itu, mereka menggunakan masjid besar dan kecil muáčŁallÄ atau langgar serta lembaga lokal yang sudah ada seperti surau dan pesantren atau pondok sebagai tempat bagi umat Islam, khususnya anak-anak, untuk belajar dan belajar ilmu dasar tentang Islam Syaâadah et al., 2019. Penjajahan Belanda di Indonesia sejak awal abad XVI tidak berdampak pada penurunan pendidikan Islam. Selama periode ini, lembaga pendidikan Islam tidak hanya bertahan tetapi juga mulai dengan sungguh-sungguh melakukan penyesuaian tertentu dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari pendidikan Eropa. Hal ini terlihat dari munculnya madrasah yang memperkenalkan sistem dan kurikulum klasikal. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi lembaga pendidikan Islam "tradisional" seperti pondok atau pesantren untuk juga memodernisasi diri mereka sendiri Darmawan, 2019. Momentum baru dalam modernisasi pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung setidaknya dalam empat dekade terakhir. Sedikitnya ada dua pendekatan yang ditempuh pertama, dengan mengintegrasikan EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 130 sepenuhnya lembaga pendidikan Islam ke dalam pendidikan nasional yang dijalankan dan dibiayai oleh pemerintah dan, kedua, dengan standarisasi pendidikan Islam sesuai dengan standar nasional sementara kepemilikan dan administrasi tetap di tangan umat Islam. Indonesia merupakan salah satu daerah dengan potensi multikultural terbesar di dunia. Hal ini terlihat dari dinamika kehidupan masyarakat yang beragam, baik dari aspek agama, suku, bahasa dan Budaya Samsuri & Marzuki, 2016. Keberagaman yang ada, sebenarnya bisa menjadi salah satu potensi besar bagi kemajuan bangsa. Namun di sisi lain juga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan jika tidak dikelola dan dikembangkan dengan baik dan langsung. Umat Islam sebagai agama mayoritas, harus berperan aktif dalam mengelola dimensi kebhinekaan bangsa ini. Pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen penting peradaban umat, perlu dioptimalkan dengan sebaik-baiknya guna menata dinamika keberagaman agar menjadi potensi kemajuan. Multikultural berarti 'keanekaragaman budaya. Istilah multikultural sendiri terbentuk dari kata 'multi' yang artinya jamak; Banyak atau beragam, dan 'kebudayaan' yang artinya kebudayaan Nadlir, 2016. Budaya atau budaya merupakan ciri-ciri perilaku manusia yang dipelajari, tidak diturunkan secara genetik dan spesifik, sehingga budaya masyarakat tertentu dapat berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Dengan kata lain Budaya merupakan ciri khas bagi setiap individu orang atau suatu kelompok comunitee yang sangat mungkin berbeda satu sama undang-undang pendidikan, paradigma multikultural secara implisit disebutkan dalam No. 20 tahun 2003, pada bab III Pasal 4 yang membahas tentang prinsip-prinsip penyelenggaraan Pendidikan Irawati & Susetyo, 2017. Melalui pasal ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya dan kebhinekaan bangsa, dalam sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara yaitu dalam konteks pembangunan Pendidikan Islam multikultural, pengakuan atas segala bentuk kebhinekaan. Tentu saja tidak cukup, tetapi bagaimana memperlakukan keberagaman dengan prinsip keadilan. Dimensi 'keberagaman' yang menjadi esensi dari konsep multikultural kemudian berkembang menjadi gerakan yang disebut multikulturalisme Chin, 2019. Memang upaya menampung dan menata dinamika kebhinekaan melalui agenda pendidikan Islam cukup banyak dilakukan. Tidak sedikit gagasan atau gagasan tentang multikultural yang EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 131 diaktualisasikan dalam diskusi dan praktik pendidikan Islam. Namun jika dilihat dari konsep pengembangan dan implementasinya belum berjalan seperti yang diharapkan. Penyelenggaraan pendidikan Islam multikultural khususnya di lembaga pendidikan Islam masih dihadapkan pada berbagai persoalan. Keberagaman suku bangsa di Indonesia turut mempengaruhi keanekaragaman budaya Indonesia. Dengan demikian, dari penelitian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya tentang pendidikan multikultural baik secara teori maupun studi lapangan masih belum mengarah pada pengertian yang lebih serius tentang pentingnya lembaga pendidikan multikultural yang dilakukan pada lembaga pendidikan Islam dan bagaimana strategi yang dilakukan oleh pendidik dalam pengajaran pendidikan multikultural dalam lembaga pendidikan agama Islam. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan studi pustaka literatur study yang menitikberatkan pada isu-isu penting seputar strategi pengembangan lembaga pendidikan Islam dan multikultural di lembaga pendidikan Islam. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah dari artikel jurnal dan buku yang berkaitan dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam dan multikultural di lembaga pendidikan Islam. Analisis data menggunakan dua teknik, yaitu 1 analisis deskriptif, yaitu upaya mengumpulkan dan menyusun data, kemudian menganalisis data; dan 2 analisis isi, yang ditujukan pada proses analisis isi dalam data deskriptif Sujarweni, 2015. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan studi pustaka, menulis dan merangkum semua artikel dan buku yang terkait dengan pengembangan lembaga pendidikan Islam dan multikultural di lembaga pendidikan Islam serta mempelajari buku dan artikel yang berkaitan dengan data sumber lain. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari Pesantren ke Madrasah Transformasi Pendidikan Islam Awal abad dua puluh merupakan periode penting yang menyaksikan transformasi signifikan dalam pendidikan Islam di Indonesia, yang dimulai EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 132 dengan pemerintah Belanda membangun sekolah modern, sejalan dengan diperkenalkannya âkebijakan etisâ yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap kesejahteraan masyarakat. orang asli. Dengan kebijakan baru ini, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem sekolah baru, terutama volkschoolen sekolah rakyat, yang dimaksudkan untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak pribumi Indonesia. Volkschoolen awalnya didirikan pada tahun 1860-an di beberapa kota di Indonesia, khususnya Batavia sekarang Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah. Setelah gagal mendapatkan respon positif di Batavia dan Semarang, mereka mendapat banyak antusiasme di Sumatera Barat. Alhasil, sekolah-sekolah ini pada akhirnya mampu melahirkan elite terpelajar Indonesia baru, khususnya yang berasal dari Sumatera Barat. Mereka membentuk segmen yang sangat penting dari masyarakat Indonesia dan sebagai akibatnya menentukan sebagian besar perjalanan sejarah Indonesia pada periode-periode berikutnya Muzakir, 2017. Pada saat yang sama, jaringan antara Muslim Indonesia terpelajar dengan reformisme Islam atau modernisme di Kairo, Mesir, juga mulai menemukan lahan subur di Nusantara. Kairo semakin menjadi tujuan ilmiah baru bagi pelajar Indonesia dalam mencari ilmu. Berbeda dengan Mekkah sebagai pusat tradisi terpenting keilmuan Islam Indonesia, Kairo membekali mahasiswa dari berbagai belahan dunia Muslim juga dengan ide-ide reformisme atau modernisme Islam, di samping pengalaman hidup di lingkungan perkotaan yang âmodernâ. Sekolah Islam dan percetakan semakin menjadi fenomena umum. Tak kalah pentingnya, Kairo juga menjadi pusat aktivisme politik di kalangan pelajar Indonesia yang datang ke kota ini dalam jumlah yang terus meningkat Ibrahim, 2019. Alhasil, jaringan Kairo mempercepat transformasi pendidikan Islam Indonesia, yang ditunjukkan dengan didirikannya berbagai lembaga pendidikan Islam baru oleh alumni Kairo dan rekan-rekan modernis lokalnya yang mengadopsi sistem modern sekolah Belanda, sebuah alternatif dari sistem tradisional pesantren. Bangkitnya lembaga pendidikan Islam modern, madrasah, oleh karenanya menjadi bagian penting dari gerakan Islam di awal abad dua puluh. Oleh karena itu, madrasah tidak hanya memperkenalkan metode dan sistem pengajaran baru seperti mengadopsi sistem kelas, menggunakan buku teks dan ilmu pengajaran baru selain ilmu agama Islam; Ia juga mulai EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 133 berfungsi sebagai forum untuk menyebarkan ide-ide tentang reformasi Islam. Madrasah juga segera menjadi lokus bagi penciptaan Muslim modern dan progresif. Perkembangan ini mulai muncul sebagai wacana dominan di Indonesia bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia. Dari sudut pandang inilah orang dapat mengatakan bahwa madrasah memiliki dimensi budaya dan politik sosial keagamaan yang kuat dalam kebangkitan dan perkembangan nasionalisme Indonesia. Pengenalan madrasah memiliki efek modernisasi tidak hanya pada institusi pendidikan Islam lainnya tetapi juga pada dinamika masyarakat Muslim Indonesia. Dalam perspektif komparatif, di pesantren, santri belajar agama dari kyai dan menggunakan kitab kuning sebagai satu-satunya sumber ilmu Muzakkir, 2017. Madrasah selain menggunakan buku-buku baru, menyisipkan metode baru untuk lebih memahami Islam dalam perspektif modern. Selain itu, jika pesantren diharapkan menghasilkan 'ulamÄ', maka madrasah diharapkan melahirkan umat Islam yang terpelajar Muslim terpelajar atau, pada akhirnya, melahirkan intelegensia bahkan ulamÄ 'intelektual. Sejalan dengan perkembangan tersebut, Abdullah Ahmad 1878â1933, salah satu tokoh Islam modernis terkemuka, mendirikan sekolah di Padang pada tahun 1909. Pendirian sekolah ini merupakan bagian dari upaya untuk melahirkan umat Islam yang berwawasan modern, sesuai dengan gagasan transformasi modern umat Islam di Sumatera Barat saat itu. Visinya adalah sekolah harus menjadi wadah untuk menyebarkan ide-ide baru tentang Islam modernis. Perlu dicatat bahwa sekolah ini didasarkan pada model Belanda; jadi sebenarnya bukan madrasah yang didasarkan pada pemikiran Islam tentang pendidikan, atau lembaga pendidikan berbasis pesantren Husmiaty Hasyim, 2015. Selain itu, Abdullah Ahmad menerbitkan jurnal pertama tentang reformasi Islam di Indonesia yang juga berperan penting dalam penyebaran modernisme Islam. Beberapa sekolah serupa kemudian didirikan. Munculnya semua institusi pendidikan ini menunjukkan fakta bahwa modernis Minangkabau cenderung mengambil sekolah model Belanda daripada sekolah berbasis Islam. Berbasis model Belanda, sekolah mereka memiliki ciri khas Islam dengan menambahkan sejumlah mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum mereka. Transformasi pendidikan Islam berlanjut secara intensif dengan didirikannya lebih banyak sekolah semacam itu dan transformasi surau, lembaga pendidikan Islam tradisional di Sumatera Barat, menjadi lembaga pendidikan modern. Sering disebut surau dengan sistem kelas, berbagai ormas Islam memutuskan untuk bersatu dan EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 134 membentuk federasi. Setelah itu, perkembangan serupa terjadi di suraus lain di Sumatera Barat Husmiaty Hasyim, 2015. Semua sekolah baru ini merepresentasikan kecenderungan lain di kalangan modernis Sumatera Barat, yaitu mentransformasikan lembaga pendidikan berbasis Islam - yaitu surau tradisional - menjadi lembaga pendidikan modern. Basisnya tetap Islam, tetapi pada saat yang sama mencakup mata pelajaran umum modern. Meskipun disebut "sekolah", sebenarnya mereka adalah "madrasah". Selain Sumatera Thawalib, transformasi pendidikan Islam juga terlihat dari sejumlah madrasah yang didirikan oleh lulusan al-Azhar sepulang dari studi di Mesir. Mahmud Yunus Wardana, 2019 menunjukkan dengan jelas bahwa dengan meningkatnya jumlah lulusan al-Azhar yang kembali ke Indonesia, upaya untuk memasukkan ilmu-ilmu selain ilmu agama Islam ke dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam semakin cepat. Beberapa madrasah mulai memasukkan ilmu umum ke dalam kurikulumnya. Selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam, madrasah-madrasah ini juga mengajarkan ilmu-ilmu umum yang juga diajarkan di sekolah modern Belanda. Sekolah lain adalah Islam Normal Kulliah Mu'alimin Islamiah yang didirikan oleh Persatuan Guru Agama Islam PGAI pada tahun 1931. Perlu juga dicatat bahwa Perguruan Tinggi Islam didirikan juga oleh Persatuan Muslim Indonesia Persatuan Muslim. Indonesia, PERMI pada tahun yang sama. Selain itu ada juga Training College yang didirikan oleh perguruan tinggi lain. Sedangkan di Jawa, transformasi pendidikan Islam terutama dilakukan oleh Muáž„ammadÄ«yah; organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan 1869â1923. Seperti halnya pembangunan di Minangkabau, upaya transformasi pendidikan yang dilakukan oleh MuhammadÄ«yah juga dilandasi oleh gagasan untuk mencapai kemajuan umat Islam Indonesia. Ahmad Dahlan sangat menekankan perlunya mentransformasikan pendidikan Islam Ilham, 2020. Bagi Dahlan, ketertinggalan terutama umat Islam Jawa dibandingkan dengan Kristen terletak pada sistem pendidikan tradisional pesantren, yang menurutnya sudah tidak mampu lagi memberikan solusi bagi perubahan masyarakat. Untuk itu, Dahlan berupaya âmembangun lembaga pendidikan dengan menerapkan sistem sekolah modern sekolah, sehingga proses pengajaran dapat terlaksana dengan baik Ilham, 2020. Alih-alih pesantren dan madrasah, Ahmad Dahlan bersama MuÄ«ammadÄ«yah membangun sekolah Islam modern. Ia menambahkan unsur-unsur Islam ke dalam sistem EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 135 pendidikan Belanda yang diadopsi, di mana para siswa diberikan pelajaran sekuler dan Islam. Akibatnya, salah satu model sekolah MuhammadÄ«yah adalah âHIS met de QurâÄn,â atau mata pelajaran agama Islam. Dengan ini, Muhammadiyah mengambil peran utama dalam upaya mengintegrasikan Islam ke dalam sistem pendidikan modern sekolah Belanda. Pesantren Muhammad berkembang pesat seiring dengan penyebaran organisasi di seluruh Indonesia. Hingga tahun 1932, organisasi muhammadiyah memiliki sekitar 316 sekolah di pulau jawa dan madura; Dari jumlah tersebut sebanyak 207 sekolah umum yang mengadopsi sistem dan metode pendidikan Barat, 88 sekolah agama dan 21 sekolah lainnya. Jumlah sekolah muhammadiyah terus bertambah seiring dengan penyebarannya ke setiap pelosok tanah air. Ini harus dilihat sebagai kontribusi nyata organisasi terhadap pendidikan Islam Indonesia. Melalui sekolah-sekolahnya, MuÄ«ammadÄ«yah mengajarkan pendidikan Islam dan umum, berdasarkan tujuannya untuk menghasilkan umat Islam yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu pengetahuan modern dan juga pengetahuan Islam. Lembaga pendidikan dibawah naungan Muhammadyah mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi dikembangkan untuk menghasilkan umat Islam yang terpelajar yang baik sehingga memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia modern dengan basis Islam yang kuat. Kuatnya gelombang transformasi pendidikan Islam Indonesia yang diwakili oleh kebangkitan sekolah dan madrasah Islam akhirnya menyentuh pesantren yang sejak lama menjadi sasaran kritik para pemikir dan pemimpin modernis seperti Ahmad Dahlan. Sambil tetap mempertahankan aspek tradisional sistem pendidikan, beberapa pesantren di Jawa mulai memodernisasi aspek-aspek tertentu dari lembaganya seperti manajemen, kurikulum, dan adopsi sistem madrasah. Pengalaman pesantren Tebuireng di Jawa Timur patut disebutkan di sini. Pesantren ini dibangun oleh salah satu ulama terkemuka di Jawa pada abad ke-20, Kyai Hasyim Asy'ari 1871â1947. Ini menjadi model bagi pesantren lain di Jawa. Hampir semua pesantren terkemuka di Jawa dibangun oleh mantan santri Kyai Hasyim Asy'ari, sehingga menerapkan muatan pendidikan dan metode yang serupa dengan yang ada di Tebuireng Subhan, 2016. Dengan berdirinya organisasi tradisionalis Nahdlatul Ulama NU, pada tahun 1926, Kyai Hasyim Asy'ari memperoleh posisi sentral dalam tradisi 'ulamÄ' dan pesantren di Jawa. EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 136 Tren Baru Lembaga Pendidikan Islam Banyak upaya telah dilakukan baik oleh komunitas Muslim maupun pemerintah Indonesia untuk memodernisasi pesantren dan madrasah dan bahkan semua lembaga pendidikan Islam dari BustÄn al-AáčfÄl taman kanak-kanak hingga tingkat universitas. Semua upaya tersebut dilakukan untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat serta untuk meminimalkan kesenjangan sumber daya dan kualitas antara lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh Kemenag dan sekolah umum yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Keberhasilan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan dan memodernisasi pesantren dan madrasah telah secara signifikan mengubah citra lembaga pendidikan Islam. Semua proses transformasi ini bertepatan dengan kebangkitan kesadaran beragama baru di kalangan umat Islam Indonesia sejak periode 1990-an, yang dikenal sebagai periode santrinisasi santrinisasi atau menjadi lebih saleh atau Islamisasi, di kalangan generasi baru dan muda. keluarga Muslim di perkotaan. Terbukti banyak dari mereka sekarang adalah kelas menengah. Keluarga-keluarga ini adalah lulusan universitas terkemuka baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan mereka sangat tertarik pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kurang memiliki pendidikan agama; oleh karena itu, mereka mencari cara yang efisien bagi anak-anak mereka untuk lebih memahami dan mempraktikkan ajaran Islam, dan lembaga pendidikan Islam akan memenuhi kebutuhan ini. Beberapa percaya bahwa kesadaran religius perkotaan baru ini dihasilkan dari kemajuan pendidikan, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan kebangkitan global kesadaran Islam karena gerakan internasional dan dampak dari televisi, penyiaran radio serta Internet, dan, yang lebih penting, akses yang mudah ke banyak informasi tentang Islam di media cetak seperti buku, jurnal, dan majalah. Perkembangan ini pada gilirannya menimbulkan munculnya perasaan ghirah sentimen tertentu untuk juga mengembangkan dan memajukan umat Islam secara umum vis-Ă -vis masyarakat lain di Indonesia. Oleh karena itu, dari sisi pendidikan, dapat dimaklumi jika mereka lebih memperhatikan kualitas output pesantren bagi masa depan pendidikan dan karir anaknya. Mereka bersikeras agar anak-anak mereka mengenyam pendidikan sains dan teknologi di satu sisi, tetapi juga berharap mereka EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 137 terbiasa dengan tradisi dan praktik keagamaan di sisi lain. Terbukti bahwa kelas menengah muslim inilah yang menjadi aktor utama perkembangan trend baru lembaga pendidikan Islam. Mereka memprakarsai dan berinvestasi dalam pengembangan cabang baru sekolah Islam madrasah sebagai genre baru lembaga pendidikan Islam. Dalam banyak hal, sekolah Islam baru ini bersifat âsekulerâ atau sekolah umum dalam hal sistem dan kurikulumnya. Beberapa dari sekolah baru ini secara eksplisit diberi nama sekolah Islam, sedangkan yang lain diberi nama sekolah teladan sekolah model atau sekolah unggulan. Namun, sekolah Islam baru membuat beberapa penyesuaian pada kurikulum Kemendikbud. Mereka lebih menekankan pada mata pelajaran tertentu seperti ilmu alam dan sosial dan pada bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Dalam perkembangan yang lebih mutakhir, beberapa sekolah Islam baru mengadopsi sistem pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan 24 jam Mukhlis, 2017. Sekolah Islam yang baru ini lebih menekankan pada nilai-nilai keislaman dalam interaksi sehari-hari, daripada menekankan pengetahuan Islam hanya sebagai materi pelajaran yang diajarkan secara teratur di kelas. Dalam pengertian ini, sekolah Islam tidak menganggap ilmu-ilmu Islam sebagai mata pelajaran inti dalam kurikulum seperti di pesantren, madrasah, dan sekolah Islam lama atau hanya sebagai mata pelajaran tambahan seperti yang terlihat di sekolah umum. Yang ditekankan oleh sekolah Islam baru adalah bertujuan untuk membangun karakter Islami siswa berdasarkan etika dan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, agama tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pengetahuan kognitif sebagaimana yang telah dituangkan dalam kurikulum melainkan untuk dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Oleh karena itu, Islam harus dipraktekkan sebagai nilai dan etika yang menjadi kebiasaan siswa dalam kehidupannya. Oleh karena itu, di sekolah Islam baru; eksposisi rinci ilmu-ilmu Islam yang biasa diajarkan di pesantren dan madrasah hampir tidak tersedia. Perlu juga disebutkan bahwa sekolah Islam dengan genre baru ini dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap seperti ruang kelas ber-AC, perpustakaan, laboratorium, dan arena olahraga serta layanan pendidikan dan pengajaran lainnya seperti komputer, Internet, dan, tentu saja, kurikulum ekstra yang terorganisir dengan baik. Sebagai lembaga modern, sekolah Islam baru dijalankan oleh para profesional dalam hal manajemen, proses belajar mengajar, dan pengembangan kurikulum. Guru, manajer, dan staf administrasi direkrut dalam seleksi yang sangat kompetitif, dan EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 138 kebanyakan dari mereka memperoleh gelar yang lebih tinggi dan berkualitas. Demikian pula, persyaratan untuk diterima sebagai siswa di sekolah ini juga sangat kompetitif. Hanya mereka yang mencapai nilai tertentu dalam tes masuk dan lulus wawancara yang dapat diterima. Oleh karena itu, sekolah Islam baru ini sangat mahal baik dari segi biaya masuk maupun biaya bulanan lainnya. Tidak mengherankan, karena sekolah semacam ini didirikan antara lain untuk menarik kaum Muslim kelas menengah di perkotaan dan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan pendidikan berkualitas bagi anak-anaknya yang memadukan ilmu sekuler dan nilai-nilai agama. Dengan ciri-ciri seperti ini, tidak mengherankan jika sekolah Islam swasta baru dalam banyak kasus mampu menggantikan kualitas sekolah negeri atau madrasah negeri milik negara yang dikelola oleh Kemendikbud dan Kemenag. Model lain dari genre baru ini yang layak disebut adalah Sekolah Madania di bawah Yayasan Madania. Lembaga ini didirikan pada pertengahan 1990-an. Awalnya, Madania membuka dan mengadopsi model pesantren pesantren untuk jenjang SMA. Namun, model pesantren ini sudah tidak tersedia lagi karena kendala teknis dan biaya yang sangat tinggi. Sekolah ini kini juga terkenal dengan upayanya untuk mempromosikan gagasan pluralisme dan multikulturalisme. Karena itu, Madania menerima mahasiswa non-Muslim. Itu juga mempertahankan ajaran agama mingguan untuk siswa non-Muslim dengan memiliki kelas agama yang mereka anut. Ketentuan ini tentu saja sangat umum untuk sekolah umum sekolah umum di bawah Kemendikbud atau untuk beberapa sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan Katolik, tetapi cukup berbeda untuk lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan komunitas Muslim. Saat ini, sekolah ini memiliki setidaknya lebih dari 3% siswa non-Muslim. Sejalan dengan gagasan pluralisme dan multikulturalisme, Madania sangat menekankan pada pembentukan karakter individu dan keterampilan hidup dalam menanggapi globalisasi dengan memperkenalkan siswa pada bahasa lain dan orientasi budaya dari peradaban lain seperti yang ada di China dan Jepang. Model unik lainnya adalah SMU Insan Cendekia yang dirintis pada tahun 1996 sebagai Sekolah Menengah Atas Umum SMU oleh beberapa ilmuwan terkemuka. SMU Insan Cendekia bertujuan menghasilkan ilmuwan muslim yang juga berwawasan keislaman. Selain itu, juga menawarkan kesempatan dan beasiswa bagi lulusan untuk melanjutkan studi lanjutan di luar negeri tentang sains dan teknologi di Jerman, khususnya. Sekolah ini juga mengadopsi sistem sekolah berasrama. Beberapa tahun lalu, sekolah ini EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 139 dialihfungsikan menjadi Madrasah Aliyah Negeri MAN dan ditempatkan di bawah Kemenag. Strategi Pengembangan Pendidikan Multikultural di Lembaga Pendidikan Islam Perkembangan pendidikan Islam multikultural di Indonesia tidak dapat dipungkiri menghadapi berbagai tantangan, antara lain 1 Aspek sosial budaya yaitu munculnya pertentangan dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan multikultural, terutama dari kelompok masyarakat yang cenderung bersifat tekstualis, baik dari Muslim maupun non-Muslim; 2 aspek politik yaitu tantangan para penentu kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif, karena belum memiliki kesamaan visi dalam mengembangkan pendidikan Islam multikultural; 3 Aspek pendidikan yaitu dari lembaga atau praktisi pendidikan yang masih memiliki pandangan berbeda tentang urgensi dan penyelenggaraan pendidikan Islam multikultural; 4 Globalisasi, pengaruh globalisasi yang begitu besar terhadap tatanan masyarakat dunia dan juga pengaruhnya terhadap agama. kehidupan; 5 Radikalisme Islam, yaitu gerakan yang mempertahankan eksistensi dan ortodoksi agama dengan jalan kekerasan, sehingga cenderung tidak menginginkan adanya keberagaman; dan 6 Perbedaan pandangan tentang relasi agama dan kenegaraan yang sulit untuk disatukan sehingga mempengaruhi perkembangan pendidikan multikultural Arifin, 2018. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pendidikan Islam multikultural di lembaga pendidikan Islam harus memperhatikan bahwa nilai-nilai multikultural yang sudah melekat sejak bangsa Indonesia ada melalui falsafah bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, seperti Gotong Royong, antara lain mendampingi, dan menghargai antara lain. , merupakan modal penting untuk mengembangkan pendidikan Islam multikultural agar menjadi lebih besar dan lebih baik, khususnya di lembaga pendidikan Islam Arifin, 2018. Sebagai perbandingan, pendidikan multikultural yang berkembang di negara barat seperti Amerika Serikat merupakan proses pendidikan yang menekankan pada strategi pembelajaran dengan menjadikan latar belakang siswa budaya yang beragam sebagai dasar untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung dan memperluas konsep budaya, perbedaan, persamaan, dan demokrasi dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Alam & Daflizar, 2018. Penyelenggaraan pendidikan multikultural yang berlangsung EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 140 di Amerika menempatkan keberagaman peserta didik sebagai faktor penting yang dapat mendukung penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan multikultural secara lebih luas. Bagi institusi pendidikan Islam di Indonesia, beberapa kajian yang dirangkum dalam Landasan Pengembangan Pendidikan Islam Multikultural dan potensi tantangan yang akan dihadapi, dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pengembangan pendidikan Islam multikultural. Strategi pembangunan yang dimaksud tentunya harus menjadikan prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam ajaran Islam sebagai landasan utama dalam proses pembangunan. Secara kuantitatif, strategi Pengembangan Pendidikan Islam multikultural yang dapat ditempuh adalah pertama, program sosialisasi dan internalisasi melalui kegiatan keilmuan, dengan memperluas referensi atau bahan bacaan tentang pengembangan Pendidikan Islam multikultural Wahyuddin & Hanafi, 2017. Referensi atau bahan bacaan tersebut perlu diatur dengan memperhatikan pembaca sasaran. Halidijah 2011 mengatakan bahwa âMeskipun informasi dapat ditemukan dari media lain seperti televisi dan radio, namun peran membaca tidak dapat sepenuhnya tergantikan. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena tidak semua informasi didapat dari televisi dan radio media. âDengan memperluas materi bacaan multikultural yang disesuaikan dengan target audiensnya, maka akan semakin memperluas proses sosialisasi dan internalisasi pendidikan multikultural di semua kalangan. Kedua, program Inovasi Pendidikan multikultural. Program ini dapat dilakukan secara individu atau kelompok atau melibatkan masyarakat luas. Pelaksanaan program Inovasi Pendidikan Multikultural perlu disesuaikan dengan lingkungan dan level kelompok yang dihadapi. Bentuk kegiatan dari program inovasi pendidikan multikultural, di antaranya pendidikan multikultural melalui program bahasa holistik yang dapat diterapkan pada anak-anak di lembaga pendidikan anak usia dini Halidjah & Siti, 2011, Transformasi pembelajaran dengan pendekatan dialog dan pengembangan toleransi di lingkungan sekolah, Kemudian pembelajaran karakter multikultural melalui program P3K psikologis yang ditujukan khusus pada korban bencana alam. Untuk mendorong program inovasi pendidikan multikultural dapat diupayakan melalui kegiatan kompetisi, pelibatan forum atau komunitas yang peduli pada isu multikultural, kegiatan seminar, penyuluhan, dan khususnya dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Ketiga, membangun budaya yang mengakomodir jiwa dan nilai multikultural, baik di EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 141 lingkungan lembaga pendidikan Islam maupun masyarakat. Pengembangan budaya multikultural dalam lingkungan pendidikan dapat diupayakan melalui pembelajaran berbasis multikultural, sehingga sikap dan pola pikir peserta didik akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Penting untuk menghapus segala bentuk praktik diskriminasi Halidjah & Siti, 2011. Pengembangan budaya multikultural di masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan forum atau media pendidikan Islam, seperti ceramah agama, dakwah jumat, syukuran ta'lim, acara-acara publik dan lain sebagainya. Pengembangan kualitatif selanjutnya, strategi yang dapat diupayakan adalah pertama, program asesmen intensif untuk memperkuat membangun budaya epistemologi pendidikan Islam multikultural. Masih banyak teori yang didominasi oleh para pemikir Barat yang bersumber dari filsafat postmodernisme. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian yang didasarkan pada sumber-sumber Islam Alquran dan As-Sunnah itu sendiri. Menurut Suparman Arifin, 2018, pandangan Alquran tentang multikultural pada hakikatnya sudah ada dalam Islam sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Keragaman justru kekayaan intelektual yang akan diteliti, sebagaimana tertuang dalam ayat-ayat Alquran yang menjelaskan hal tersebut. Melalui pendidikan multikultural diharapkan setiap individu atau kelompok dapat menerima dan menghargai setiap perbedaan, hidup berdampingan secara damai dan tentram, sehingga membentuk negara dan bangsa yang damai dan sejahtera. Secara konseptual, pandangan al-Qur'an tentang multikultural terdiri dari lima karakter, yaitu belajar hidup dalam perbedaan, membangun tiga aspek saling saling percaya, memahami, dan menghormati, berpikiran terbuka, menghargai dan saling ketergantungan, serta penyelesaian masalah. konflik dan rekonsiliasi kekerasan. Dengan demikian, konsep pendidikan multikultural pada hakikatnya sangat selaras dengan ajaran Islam, yakni dalam mengatur tatanan manusia di Bumi. Oleh karena itu, pendidikan Islam multikultural telah memberikan sedikit harapan dalam mengatasi berbagai permasalahan masyarakat yang terjadi belakangan ini dan juga sebagai konsep pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, kepercayaan, heterogenitas, pluralitas, keberagaman, sehingga perlu diperdalam dan digali. sumber ajaran Islam yaitu Alquran dan As Sunah. Kedua, program Revisi Kurikulum untuk memperkuat nilai-nilai multikultural dalam program pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Kurikulum tingkat sekolah saat ini, belum sepenuhnya mengakomodir EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 142 semangat dan nilai multikultural. Menurut Lundeto 2018, salah satu alasan utama masuknya program pendidikan multikultural di sekolah adalah untuk memperbaiki kekurangan dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mempelajari latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analitis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan antara kelompok yang ada. Landasan psikologis pendidikan multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang tersebut merupakan bagian dari tujuan pendidikan multikultural yang memberikan kontribusi pada pengembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada pencapaian intelektual, akademik, dan sosial siswa secara keseluruhan. Ketiga, program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman pendidik tentang signifikansi dan urgensi multikultural, dan bagaimana pendidik dapat menerapkannya dalam proses pengajaran. Harus diakui bahwa sebagian pendidik sendiri masih berpikiran rendah tentang dinamika keberagaman dan perbedaan, sehingga diperlukan upaya internalisasi di kalangan pendidik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman yang intensif tentang pendidik yaitu melalui pelatihan, bahan bacaan dan ruang kreativitas menulis tentang pendidikan multikultural. Dalam konteks metode pengajaran inklusif pendidikan agama, hubungan antara guru dan peserta didik bersifat dialogis komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, begitu pula sebaliknya. Bagaimanapun, guru dan peserta didik sama-sama sebagai subjek pembelajaran, sehingga suasana pembelajaran di dalam kelas akan dinamis dan hidup. Pengajaran pendidikan agama tidak hanya dipahami sebagai transfer ilmu, tetapi juga sebagai passion dan amalan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran agama pada gilirannya memiliki keterkaitan yang erat dengan hakikat yang sebenarnya, bukan hanya di akhirat okultisme. Keempat, Program Kearifan Lokal, yaitu pengembangan budaya lokal yang sarat dengan nilai moral dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Kearifan lokal pada hakikatnya merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang diyakini benar dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Kearifan lokal merupakan kecerdasan EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 143 manusia yang tergolong dalam suku tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat Prasetawati & Asnawi, 2018. Pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal, dapat dilakukan dengan program deradikalisasi Islam yang terdiri dari dua tahap, yaitu 1 deradikalisasi dilakukan sedini mungkin dengan melakukan tindakan preventif terhadap paham radikal preventif deraddaic, dan 2 deradikalisasi dilakukan melalui pelestarian pemahaman Islam lil'alamin, sehingga membangun masyarakat Islam yang toleran dan Cinta Damai rahmatan lil'alamin. Pengembangan budaya lokal dalam implementasinya di lingkungan pendidikan, dapat dilakukan dengan memberikan tugas kepada peserta didik untuk mengikuti kegiatan kemasyarakatan atau acara budaya lokal yang ada dimasyarakat. Khusus bagi mahasiswa, program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang telah terintegrasi dalam kurikulum pendidikan, perlu dibekali dengan konten atau nilai multikultural yang lebih spesifik. Dengan demikian, dari berbagai pandangan tentang pendidikan multikultural selalu berkaitan erat dengan landasan agama, historis, psikologis, sosiokultural dan geografis. Landasan terbentuknya multikultural dengan melihat aspek-aspek tersebut, sehingga multikultural tidak dipahami sebagai konflik. Namun yang membedakan adalah pembedaan suku, tanpa pertentangan seperti yang diajarkan Tuhan, bahwa Tuhan sama sekali tidak melihat perbedaan, tetapi yang membedakannya adalah takwa. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan penguatan terhadap pendidikan multikultural di lembaga pendidikan Islam, perlu dilakukan latihan-latihan terkait pendidikan multikultural agar tidak terjadi diskriminasi pada peserta didik. Kajian pendidikan Islam multikultural telah banyak dilakukan dalam berbagai kajian penelitian sebelumnya, seperti yang telah disebutkan pada bagian akhir pendahuluan, namun kajian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya, seperti Amar 2014, memfokuskan pada kajian landasan normatif terkait Al-Qur'an. Ayat ini sebagai inspirasi pendidikan Islam di era multikultural. Arif 2017 mengkaji model pendidikan Islam berbasis multikultural yang beberapa tokoh dipandang sebagai konsep yang paling cocok diterapkan di Indonesia. Sedangkan penelitian Azzuhri 2012 berfokus pada konsep multikulturalisme dan pluralisme dalam pendidikan agama. Zain 2013 juga meneliti pengembangan pendidikan Islam multikultural berbasis manajemen sumber daya manusia. Dari hasil kajian penelitian sebelumnya, masih belum dibahas secara mendesak tentang Landasan Pengembangan EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 144 Pendidikan Islam Multikultural dan Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Multikultural pada Lembaga Pendidikan Islam secara lebih spesifik. Dari penelitian sebelumnya, pendidikan multikultural dilakukan di lembaga pendidikan, baik di pendidikan Islam maupun pendidikan formal. Hanya menyentuh pada beberapa aspek, belum pada keseluruhan aspek, baik dari pendidik, pemahaman siswa tentang perbedaan dan lain-lain. Oleh karena itu, sebagai seorang guru tidak hanya dituntut tentang kompetensi sosial, pedagogik, kepribadian, profesional, tetapi juga dituntut tentang kompetensi budaya. Artinya setiap pendidik yang ditugaskan di daerah tertentu dengan agama Islam sebagai prioritas, sehingga guru diharapkan tidak hanya mengajarkan materi pelajaran yang terdapat di dalam buku teks, tetapi juga dapat menggunakan kurikulum tersembunyi dalam setiap penyampaian materi yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung. D. KESIMPULAN Logika di balik perkembangan lembaga pendidikan Islam mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Pesantren, madrasah, sekolah Islam lama, dan sekolah Islam baru dalam beberapa hal berbeda cara mereka berkembang. Namun kesemuanya itu telah sampai pada satu tujuan, yaitu mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang berkualitas bagi umat Islam Indonesia. Pada titik ini, semua lembaga pendidikan Islam sepakat bahwa sistem pendidikan Islam yang dapat menanamkan nilai-nilai agama dan moral dalam kurikulum modern sangat penting dan prospektif. Dengan itu lembaga pendidikan Islam mungkin akan dapat mempertahankan peran instrumentalnya dalam kelanjutan modernisasi umat Islam secara keseluruhan. Landasan Pengembangan Pendidikan Islam Multikultural di Lembaga Pendidikan Islam mengacu pada beberapa landasan fundamental yaitu landasan agama, historis, psikologis, sosiokultural, dan geografis. Strategi pengembangan pendidikan Islam multikultural di lembaga pendidikan Islam dapat bersifat kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif 1 Program sosialisasi dan internalisasi melalui kegiatan ilmiah; 2 Program inovasi pendidikan multikultural; dan 3 Membangun budaya yang mengakomodir jiwa dan nilai multikultural di lingkungan lembaga pendidikan Islam. Kualitatif adalah 1 Program asesmen intensif untuk penguatan membangun budaya epistemologi pendidikan Islam multikultural berbasis Alquran dan Sunnah; EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 145 2 Program Revisi Kurikulum; 3 Program pendidikan dan pelatihan untuk pendidik; dan 4 Program kearifan lokal. REFERENSI Alam, M., & Daflizar, D. 2018. Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural. BELAJEA Jurnal Pendidikan Islam, 32, 103. Amar, I. 2014. Studi Normatif Pendidikan Islam Multikultural. ISLAMICA Jurnal Studi Keislaman, 42, 320. Arif, M. 2017. Deradikalisasi Islam Melalui Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Cigugur. AKADEMIKA Jurnal Pemikiran Islam, 221, 51. Arifin, Z. 2018. Pendidikan Islam Multikultural Upaya Menumbuhkan Kesadaran Multikultural. Al-Insyiroh Jurnal Studi Keislaman, 21, 38â56. Chin, C. 2019. The concept of belonging Critical, normative and multicultural. Ethnicities, 195, 715â739. Darmawan, D. 2019. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Journal of Chemical Information and Modeling, 539, 1689â1699. Halidjah, & Siti. 2011. Pemberian Motivasi Untuk Meningkatkan Kegiatan Membaca Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Kependidikan, 91, 1â9. Hefni Zain. 2013. Pengembangan Pendidikan Islam Multikultural Berbasis Manajemen Sumber Daya Manusia. TadrĂźs, 81, 108â124. Husmiaty Hasyim. 2015. Transformasi Pendidikan Islam Konteks Pendidikan Pondok Pesantren . Jurnal Pendidikan Agama Islam-Taâlim, 131, 57â77. Ibrahim, B. 2019. Madrasah Transformation Into Modern Educational Institutions During The New Order. Istawa Jurnal Pendidikan Islam, 42, 196. EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 146 Ilham, D. 2020. Persoalan-Persoalan Pendidikan dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam. In DIDAKTIKA Vol. 9, Issue 2. Irawati, E., & Susetyo, W. 2017. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional di Blitar. Jurnal Supremasi, 71, 32â43. Lundeto, A. 2018. Menakar Akar-Akar Multikulturalisme Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Iqraâ, 112. Muhadis Azzuhri. 2012. Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama. Forum Tarbihyah, 109, 13â29. Mukhlis, A. 2017. Sejarah Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Nusantara Surau, Meunasah, Pesantren dan Madrasah . AL Iman Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 101, 124â144. Muzakir, A. 2017. Transformasi Pendidikan Islam di Jambi dari Madrasah ke Pesantren. Islam Realitas Journal of Islamic & Social Studies, 31, 8. Muzakkir. 2017. Harmonisasi Tri Pusat Pendidikan Dalam Pengembangan Pendidikan Islam. Al-Taâdib, 101, 145â162. Nadlir, M. 2016. Urgensi Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Pendidikan Agama Islam Journal of Islamic Education Studies, 22, 299. Prasetawati, E., & Asnawi, H. S. 2018. Wawasan Islam Nusantara; Pribumisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Indonesia. FIKRI Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 31, 219. Samsuri, & Marzuki. 2016. Character building for multicultural citizenship within the curricular programs in madrasah aliyah, Yogyakarta. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 11, 24â32. EVALUASI, 5 1, Maret 2021, ISSN 2580-3387 print ISSN 2615-2886 online Homepage DOI 602 Article type Original Research Article 147 Subhan, F. 2016. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI. Jurnal Pendidikan Agama Islam Journal of Islamic Education Studies, 12, 353. Sujarweni, V. W. 2015. Metodologi Penelitian. Jakarta Rineka Cipta. Syaâadah, A., Saputra, B. A., Jannah, M., & Mahfud, C. 2019. Sejarah reformasi pendidikan Islam di Indonesia. Taâdibuna Jurnal Pendidikan Islam, 81, 38. Wahyuddin, W., & Hanafi. 2017. Konsep Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif Islam. PROCEEDING IAIN Batusangkar, 11, 721â744. Wardana, A. K. 2019. Peluang Lulusan Ponpes Lanjutkan Kuliah hingga ke Universitas Al Azhar, Ada Beasiswa Santri Kemenag. ... Selanjutnya, Afista, dkk, menunjukkan bahwa 1 landasan pembangunan pendidikan multikultural terdiri atas landasan agama, historis, psikologis, sosiokultural dan geografis; 2 strategi pengembangan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan Islam dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Sedangkan strategi pengembangan kualitatif adalah program studi intensif Al-Quran dan Sunnah Rosul, program revisi kurikulum, program diklat tenaga pendidik, dan program kearifan lokal Afista Y, Sumbulah U, 2021. ...MardiaMuhammad Mukhtar. SRohman RohmanMulticultural-based education is seen as important in responding to existing differences. The diversity of schools of law in fiqh and issues of khilafiyah often become internal debates among Muslims and often lead to divisions. This type of research is qualitative research, the data source is through documentation and resource persons, data collection techniques are through observation, documentation, and interviews. Data analysis techniques through data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results show that 1 the dimensions of multicultural values in fiqh learning consist of curriculum dimensions, dimensions in teaching materials consist of values of tolerance, equality of rights, values of brotherhood, justice, and social ethics, 2 implementation of multicultural values in comparison of schools in fiqh learning, namely promoting the values of tolerance and not being fanatical, being inclusive, not discriminatory, teaching the background of the emergence of differences, ethics in responding to differences, and promoting the values of peace and unity, 3 the implications of multicultural values in fiqh learning, namely 1 implications in the domain of attitude affection which consists of awareness and cultural sensitivity, responsiveness to culture, and skills to avoid conflict, 2 domain of knowledge cognitive which consists of knowledge of the language and culture of people others, and the ability to analyze and translate cultural behavior and knowledge about cultural awareness. 3 the learning domain which consists of the ability to correct distortions, stereotypes, and misunderstandings about ethnic groups.... Culture is the result of human creation that gives birth to the living order of a group or a nation. This change makes all the problems related to socio-cultural ethics make it even more complex until finally we are required to deal with them prudently Afista et al., 2021. The development of the times led to modernization but did not forget its culture as we feel today there are positive results as well as negative because of its development that occurs in the world. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. Dodi IlhamTulisan ini bertujuan untuk melihat berbagai persoalan-persoalan yang terjadi dalam membahas fisafat pendidikan Islam. Dalam tulisan ini akan membedah persoalan pendidikan pada aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Persoalan ontologi pendidikan dalam kajian filsafat pendidikan Islam terbagi atas tiga persoalan pendidikan ber-Islam yakni mengupayakan pembimbingan, pendidikan dan pembinaan dalam mengenalkan Islam secara keseluruhan kepada peserta didik; pendidikan ber-Iman yakni mengupayakan totalitas ajaran Islam untuk ditanamkan kepada anak melalui keimanan kepada Allah swt dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariâah; dan pendidikan ber-Ihsan yakni menanamkan keyakinan suasana hati dan perilaku peserta didik untuk senantiasa merasa dekat dengan Tuhan sehingga tindakannya sesuai dengan aturan Allah swt. Persoalan epistemologi pendidikan dalam kajian filsafat pendidikan Islam adalah proses pendidikan dalam tataran sistem pendidikan Islam, yang ruang lingkupnya adalah tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, materi pendidikan Islam, metode pendidikan Islam, pendidik, peserta didik, sarana pendidikan Islam, alat pendidikan Islam, dan pendekatan pendidikan Islam. Persoalan aksiologi pendidikan dalam kajian filsafat pendidikan Islam menyangkut nilai-nilai tentang pendidikan Islam itu sendiri dengan maksud menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia, menjaga dan membina di dalam kepribadiannya baik yang bersifat spiritual maupun yang berwujud yang terbagi atas dua nilai utama yaitu nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah. Clayton ChinContemporary diversity politics is mobilized around debates on the effects of diversity on political community and cohesion. However, social and political theory are deeply divided on the relation between that diversity, liberalâdemocratic citizenship, multiculturalism and social cohesion. This article argues that a focus on the concept of belonging, which is often employed but rarely examined in detail, illustrates the criticalânormative divide between social and political theory. Further, it argues that each has a partial account of belonging that fails to account for the multidimensional and complex nature of diverse belonging today. Instead, it sketches a theory of multicultural-belongingâ, which unites the critical and normative approaches and offers key insights going forward in the analysis of diversity, citizenship and AlamDaflizar DaflizarWhich is prone to cause conflict, thus State Islamic Institute of Kerincias one of the stateuniversities feels obliged to include multicultural courses into its purpose of this study was to know the implementation of "Islamic Education with Multicultural Insights" at the State Islamic Institute ofKerinci. This research was a field research study, with the qualitative type. The main instruments were observation, in-depth interviews, and documentation. The findings of the study are That the State Islamic Institute ofKerincihas implemented Islamic education with multicultural insights through the lecture process, beginning with designing a syllabus that contains the strengthening of the theory, that God has created cultural diversity which is sunnatullah, rahmat, assets, strength, unifying tool that must be appreciated and thankful for, and that cultural diversity, peace and harmony have received a positive response from the students that they canapply in their daily life and even they are be able to be a massive pioneer in creating peace and harmony in society Muhamad ArifAbstrak Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan konteks deradikalisasi Islam melalui pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal. Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian mendalam pada masyarakat Cigugur. Penelitian menghasilkan temuan bahwa sikap toleran, saling menghargai, saling menghormati, dan bahkan saling bekerja sama yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Cigugur yang multi agama dan multikultural didukung oleh aktualisasi pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal yang mencakup tiga dimensi, yakni dimensi waktu, dimensi tempat, dan dimensi isi. Menurut dimensi waktu, pendidikan diselenggarakan dalam tiga fase, yakni sateuacan nitis sebelum nitis, sateuacan boboran sebelum lahir, dan saatosna boboran setelah lahir. Menurut dimensi tempat, masyarakat Cigugur menyelenggarakan pendidikan di lingkungan keluarga pendidikan informal, lingkungan sekolah pendidikan formal, dan lingkunganAli MuzakirTraditional Islamic education model does not only teach Islam but also provides practical knowledge for modern life. The desire is a great opportunity, because Islamic education in Indonesia has diverse backgrounds, systems, and nomenclature, such as madrassas, boarding schools, rangkang, meunasah, and surau. The model of madrasah education and pesantren seems to be the most viable pedestal. Particularly the pesantren system, rooted in Javanese tradition, is the most widely influenced model of Islamic education in Indonesia. This paper discusses the struggle of madrasah and pesantren in Jambi, with a social-historical approach. The focus of research on some of the most established madrassas in Jambi, which became the forerunner of other madrasah development in Jambi Province. The initial characteristics of Islamic education institutions in Jambi are madrasah. In practice, Madrasahs in Jambi have developed a model of traditional Islamic education, characterized by the study of yellow books, the figures of the master teachers kyai, students, and boarding schools. The characteristics are similar to the pesantren in Java; minus mosque. In the development, there is a sense of imbalance in responding to changes in the national education system, especially those projected by the Ministry of Religious Affairs. Model pendidikan Islam tradisional tidak hanya mengajarkan Islam tetapi juga membekali ilmu praktis untuk kehidupan modern. Keinginan tersebut menjadi peluang besar, karena pendidikan Islam di Indonesia memiliki latar belakang sejarah, sistem, dan nomenklatur yang beragam, seperti madrasah, pondok pesantren, rangkang, meunasah, dan surau. Model pendidikan madrasah dan pesantren tampaknya menjadi tumpuan yang paling viable. Terutama sistem pesantren, yang berakar pada tradisi Jawa, adalah paling luas mempengaruhi model pendidikan Islam di Indonesia. Tulisan ini membahas pergulatan madrasah dan pesantren di Kota Jambi, dengan pendekatan sejarah-sosial. Fokus penelitian pada beberapa madrasah yang didirikan di Kota Jambi, yang menjadi cikal-bakal pengembangan madrasah lainnya di Provinsi Jambi. Karakteristik awal lembaga pendidikan Islam di Jambi adalah madrasah. Dalam praktiknya, madrasah-madrasah di Jambi mengembangkan model pendidikan Islam tradisional, yang bercirikan kajian kitab kuning, figur tuan guru kyai, murid, dan pondok. Karakteristik tersebut mirip dengan pesantren di Jawa, tetapi minus masjid. Dalam perkembangannya, terjadi kegamangan dalam merespon perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan nasional, khususnya yang diproyeksikan oleh Kementerian Nadlirp>Tulisan ini mengurai pentingnya pembelajaran berbasis kearifan lokal di dalam dunia pendidikan. Pembelajaran di lembaga pendidikan terdiri atas berbagai materi ajar subject matter , dimana setiap materi tersebut sudah ditentukan target-target pembelajarannya. Tanpa mengganggu sama sekali setiap materi ajar tersebut, bahkan memperkuatnya, muatan kearifan lokal perlu dimasukkan. Apapun yang diterima peserta didik merupakan sebuah materi ajar, baik berupa teori, praktik, contoh-contoh soal maupun sikap pendidik itu sendiri. Menggambarkan secara jelas kekhasan materi ajar, ruang kelas, lingkungan pendidikan maupun buku-buku/ media pendidikan menjadi sebuah kebutuhan lembaga pendidikan agar dapat diterima efektif oleh peserta didik. Pengintegrasian akan efektif jika muatan kearifan lokal dapat masuk menjadi materi ajar pokok yang tidak sekedar asal dapat ditempelkan. Dalam Pendidikan Agama, misalnya, perlu dapat menjelaskan hukumnya berwirausaha, berbisnis, belajar, bercocok tanam, memanfaatkan lahan kosong di bawah tegakan tanaman, mengolah makanan secara alami tanpa pewarna maupun pengawet buatan, mensyukuri kekayaan hayati, dan lain-lain. Di dalam PKn perlu untuk menjelaskan posisi negara yang penuh hutang, perlunya membangun kemandirian ekonomi, perlunya mencintai hasil produksi dalam negeri maupun praduk lokal dan lain-lain. Materi ajar Bahasa Indonesia dapat mengarahkan kesadaran anak tentang kearifan lokal melalui pelajaran mengarang, membuat puisi ataupun membuat peribahasa dengan tema-tema lokal. Demikian pula pada IPA, IPS, Seni Budaya dan Ketrampilan, Pendidikan kesehatan, berbagai materi ajar dasar maupun pengembangan diri.
Wujudpertama adalah wujud ideal kebudayaan. Gagasan-gagasan itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem, disebut sistem budaya atau kultural, yang dalam bahasa Indonesia disebut adat istiadat. Wujud kedua adalah disebut sistem sosial atau sosial sitem, yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri.
RĂ©sumĂ© Au QuĂ©bec, lâimportance que les rĂ©formateurs accordent Ă lâapproche culturelle de lâenseignement suscite plusieurs recherches. Peu de travaux, cependant, ont cherchĂ© Ă comprendre ce qui se trouve en amont de celle-ci, câest-Ă -dire le rapport Ă la culture des enseignants. Ce texte prĂ©sente le cadre thĂ©orique dâune dĂ©finition du rapport Ă la culture que nous avons construit en nous inspirant des travaux de Charlot 1997 et des rĂ©sultats dâune recherche menĂ©e auprĂšs de 35 Ă©tudiants de deuxiĂšme annĂ©e en enseignement du français. Lâanalyse de quatre idĂ©altypes du rapport Ă la culture nous amĂšne Ă penser que le cadre thĂ©orique prĂ©sentĂ© ici constitue une avancĂ©e thĂ©orique et pratique pour penser la formation des enseignants au regard de lâapproche culturelle de lâ - uploaded by Judith Emery-BruneauAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Judith Emery-BruneauContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ărudit est un consortium interuniversitaire sans but lucratif composĂ© de l'UniversitĂ© de MontrĂ©al, l'UniversitĂ© Laval et l'UniversitĂ© du QuĂ©bec Ă MontrĂ©al. Il a pour mission la promotion et la valorisation de la recherche. Ărudit offre des services d'Ă©dition numĂ©rique de documentsscientifiques depuis communiquer avec les responsables d'Ărudit erudit ArticleDenis Simard, Ărick Falardeau, Judith Ămery-Bruneau et HĂ©loĂŻse CĂŽtĂ©Revue des sciences de l'Ă©ducation, vol. 33, n° 2, 2007, p. citer cet article, utiliser l'information suivante URI les rĂšgles d'Ă©criture des rĂ©fĂ©rences bibliographiques peuvent varier selon les diffĂ©rents domaines du document est protĂ©gĂ© par la loi sur le droit d'auteur. L'utilisation des services d'Ărudit y compris la reproduction est assujettie Ă sa politiqued'utilisation que vous pouvez consulter Ă l'URI tĂ©lĂ©chargĂ© le 2 June 2013 0245îąEn amont dâune approche culturelle de lâenseignementîąîą le rapport Ă la cultureîąÂ» En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la cultureDenis Simard, professeurUniversitĂ© LavalĂrick Falardeau, professeurUniversitĂ© LavalrJudith Ămery-Bruneau, doctoranteUniversitĂ© LavalHĂ©loĂŻse CĂŽtĂ©, doctoranteUniversitĂ© LavalrĂ©sumĂ© âą Au QuĂ©bec, lâimportance que les rĂ©formateurs accordent Ă lâapproche culturelle de lâenseignement suscite plusieurs recherches. Peu de travaux, cepen-dant, ont cherchĂ© Ă comprendre ce qui se trouve en amont de celle-ci, câest-Ă -dire le rapport Ă la culture des enseignants. Ce texte prĂ©sente le cadre thĂ©orique dâune dĂ©finition du rapport Ă la culture que nous avons construit en nous inspirant des travaux de Charlot 1997 et des rĂ©sultats dâune recherche menĂ©e auprĂšs de 35 Ă©tudiants de deuxiĂšme annĂ©e en enseignement du français. Lâanalyse de quatre idĂ©altypes du rapport Ă la culture nous amĂšne Ă penser que le cadre thĂ©orique prĂ©sentĂ© ici constitue une avancĂ©e thĂ©orique et pratique pour penser la formation des enseignants au regard de lâapproche culturelle de lâenseignement. mots clĂ©s rapport Ă la culture, enseignement, formation Ă lâenseignement, français, approche le dĂ©but des annĂ©es 1990, on a vu, au QuĂ©bec comme ailleurs dans le monde Sharp et Le MĂ©tais, 20001, les rĂ©formateurs2 se prĂ©occuper explicitement de la place et du rĂŽle de la culture Ă lâĂ©cole, dans les programmes dâĂ©tudes et la formation des enseignants CSĂ, 1994 ; MĂQ, 1997, 2001. Ă ce titre, plusieurs travaux de recherche ont tentĂ© de prĂ©ciser les jalons de ce rapprochement souhaitĂ© entre lâĂ©cole et la culture3. Ces travaux peuvent ĂȘtre regroupĂ©s en trois grandes catĂ©gories4 1 ceux portant sur les actions concertĂ©es entre les acteurs scolaires et culturels, et par lesquelles se concrĂ©tise lâune des voies quâemprunte le rehausse-ment de la formation culturelle des Ă©lĂšves Lemerise, 2001 ; Matias, Lemerise, Lussier-Desrocher, 2001 ; Mellouki et Gauthier, 2003 ; Quintin, 1993 ; 2 les travaux Ă caractĂšre pratique qui prennent la forme de pistes pĂ©dagogiques pour intĂ©grer la culture dans la classe et dans lâenseignement des disciplines BĂ©chard, 2001 ; Volume 33, no 2, 2007 287 - 304 288 Revue des sciences de lâĂ©ducationMCC et MĂQ, 2004 ; Saint-Jacques, 2001 ; Simard, 2002b ; Simard et CĂŽtĂ©, 2005 ; 3 enfin, les travaux thĂ©oriques qui sâefforcent de dĂ©finir, dâanalyser et de com-prendre le sens de la recomposition culturelle dans laquelle lâĂ©ducation scolaire et la formation des enseignants sont engagĂ©es Boutin, 2001 ; Chartrand, 2005 ; ChenĂ© et Saint-Jacques, 2005 ; CĂŽtĂ©, 2004 ; Gauthier, 2001 ; Gohier, 2002 ; InchauspĂ©, 1997 ; Julien, 2001 ; Mellouki et Gauthier, 2005 ; Saint-Jacques et ChenĂ©, 2002 ; Simard, 2001, 2002a, 2004, 2005 ; Simard et Mellouki, 20055. Lâabondance et la diversitĂ© de ces travaux tĂ©moignent de lâintĂ©rĂȘt thĂ©orique et pratique de ce champ de recherche. En revanche, peu de travaux, Ă notre connaissance, Ă lâexception de la recherche de Saint-Jacques, ChenĂ©, Lessard et Riopel 2002 portant sur les reprĂ©-sentations de la culture des enseignants du primaire, se sont intĂ©ressĂ©s Ă ce qui se trouve en amont dâune approche culturelle de lâenseignement, câest-Ă -dire le rap-port Ă la culture des enseignants6. Or, les travaux antĂ©rieurs que nous avons menĂ©s Falardeau, 2005 ; Simard et Falardeau, 2005 et lâanalyse des donnĂ©es de recherche que nous avons recueillies Ă lâautomne 2003, et que nous prĂ©senterons dans ce texte, nous incitent Ă penser que le rapport Ă la culture de lâenseignant joue un rĂŽle important dans la mise en Ćuvre dâune approche culturelle de lâenseignement. En dâautres termes, nous pensons que le concept de rapport Ă la culture nous permet dâanalyser et de comprendre lâapproche culturelle sous lâangle du rapport Ă la culture des enseignants et des dispositifs pĂ©dagogiques oĂč celui-ci sâincarne. Ce texte se veut donc un premier effort pour comprendre la relation entre le rapport Ă la culture et lâapproche culturelle de lâenseignement. De façon plus prĂ©cise, il vise Ă prĂ©senter les rĂ©sultats dâune recherche exploratoire sur le rapport Ă la culture menĂ©e auprĂšs dâĂ©tudiants en formation initiale en enseignement du français au secondaire Ă lâUniversitĂ© Laval7. Notre propos se divisera en quatre parties nous prĂ©senterons dans la premiĂšre le cadre thĂ©orique dâune dĂ©ïŹ nition du rapport Ă la culture, en nous inspirant des travaux menĂ©s par Charlot 1997 sur le rapport au savoir ; dans un deuxiĂšme temps, nous exposerons les outils mĂ©thodologiques qui nous ont guidĂ©s dans lâanalyse des donnĂ©es empiriques ; nous dĂ©crirons ensuite les quatre types de rapport Ă la culture que nous avons esquissĂ©s ; enïŹ n, dans la quatriĂšme partie, nous prĂ©senterons une synthĂšse et des pistes dâanalyse des rĂ©sultats observĂ©s. Le rapport Ă la culture une dĂ©finitionAvant de dĂ©finir le rapport Ă la culture, nous prĂ©ciserons dâemblĂ©e que nous con-cevons la culture Ă la fois comme objet et comme rapport. La culture comme objet sâappuie sur la distinction que trace Dumont 1968 entre culture premiĂšre et culture seconde. La culture premiĂšre est un milieu, un donnĂ©, un dĂ©jĂ -lĂ grĂące auquel nous interprĂ©tons spontanĂ©ment le monde. La culture seconde est de nature rĂ©flĂ©chie et sâincarne dans des Ćuvres, des pratiques et des systĂšmes symboliques. La rĂ©flexivitĂ©, comprise Ă la fois comme prise de distance Ă lâĂ©gard de la culture premiĂšre puis Ă©laboration dâune culture seconde, est au cĆur de cette distinc-tion. La culture peut ĂȘtre ainsi vue comme un mouvement rĂ©flexif qui amĂšne lâindividu Ă sâouvrir Ă des cercles de culture seconde et Ă adopter un point de vue plus distanciĂ© Ă lâĂ©gard des objets et des pratiques qui constituent sa culture pre-miĂšre. En ce sens, la culture peut ĂȘtre comprise comme rapport au monde, Ă soi-mĂȘme et Ă conception de la culture comme rapport se rapproche de la thĂ©orie microsociologique du rapport au savoir de Charlot 1997 et de lâĂ©quipe ESCOL8. Le rapport au savoir est vu comme un processus impliquant un individu dans toutes les relations quâil tisse avec lâapprendre Si le savoir est rapport, câest le pro-cessus qui conduit Ă adopter un rapport de savoir au monde qui doit ĂȘtre lâobjet dâune Ă©ducation intellectuelle â et non lâaccumulation de contenus intellectuels. Charlot, 1997, p. 74. Le savoir visĂ© est avant tout apprĂ©hendĂ© comme un processus de dĂ©veloppement du sujet, mouvement dynamique qui recoupe le caractĂšre rĂ©ïŹ exif de la culture Le rapport au savoir est rapport dâun sujet au monde, Ă soi-mĂȘme et aux autres. Il est rapport au monde comme ensemble de signiïŹ cations mais aussi comme espace dâactivitĂ©s Charlot, 1997, p. 90. Comme le savoir â ou lâapprendre â, la culture doit ĂȘtre envisagĂ©e non pas uniquement comme un ensemble dâobjets constituĂ©s, mais aussi et surtout comme un processus dynamique Ă travers lequel lâindividu entre en relation avec lui-mĂȘme et les peut dĂšs lors dĂ©ïŹ nir le rapport Ă la culture comme un ensemble organisĂ© de relations dynamiques dâun sujet situĂ© avec des acteurs, des savoirs, des pratiques et des objets culturels. Le rapport Ă la culture implique un sujet rĂ©el, en relation plus ou moins soutenue, de façon plus ou moins rĂ©ïŹ exive, avec la culture. Tout individu entretient donc forcĂ©ment un rapport Ă la culture, parce quâil est en relation avec des ĂȘtres humains rassemblĂ©s en une sociĂ©tĂ© organisĂ©e par la culture. Ce rapport peut nĂ©anmoins varier en fonction des contextes, des pratiques, des relations, des valeurs et des savoirs mis en jeu. Câest ce rapport complexe quâil sâagit de comprendre, en analysant le rĂŽle et lâimportance de ses diffĂ©rentes dimensions que nous tenterons maintenant de dĂ©ïŹ dimensions constitutives de tout rapport Ă la cultureEn nous rĂ©fĂ©rant Ă Charlot 1997 et Bautier 2002, nous distinguons trois dimen-sions constitutives du rapport Ă la culture Ă©pistĂ©mique, subjective et dimension Ă©pistĂ©miqueLa dimension Ă©pistĂ©mique dĂ©signe principalement le statut, la place et le rĂŽle des savoirs dans les relations que le sujet tisse avec le monde, les autres et lui-mĂȘme. Elle amĂšne le sujet Ă mobiliser les savoirs â instituĂ©s ou dâexpĂ©rience â comme des mĂ©diateurs qui influenceront Ă des degrĂ©s variables ses pratiques culturelles et sa comprĂ©hension du monde. Câest dire que les savoirs peuvent jouer un rĂŽle actif dans les pratiques culturelles quelles quâelles soient, des plus esthĂ©tiques, intellec-tuelles et complexes aux plus populaires et spontanĂ©es. La dimension Ă©pistĂ©mique du rapport Ă la culture pourrait intervenir aussi bien dans la pratique et la com-prĂ©hension dâune activitĂ© sportive que dans lâanalyse dâune situation politique En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 289 290 Revue des sciences de lâĂ©ducationcomplexe, dans la mesure oĂč les savoirs permettent au sujet de densifier et de complexifier son rapport au outre, la dimension Ă©pistĂ©mique permet au sujet de considĂ©rer les savoirs sous diffĂ©rents angles dâabord historique, dans la mesure oĂč tout savoir sâinscrit dans lâhistoire des hommes, marquĂ©e par des controverses, des intĂ©rĂȘts et des dĂ©bats ; Ă©pistĂ©mologique aussi, parce que tout savoir implique des positions scien-tiïŹ ques, qui engagent des conceptions de la connaissance et de la rĂ©alitĂ© ; social, tout savoir sâinscrivant dans un champ de relations symboliques qui lui confĂšrent une lĂ©gitimitĂ© plus ou moins grande ; critique, enïŹ n, les savoirs â instituĂ©s ou dâexpĂ©rience â favorisant une prise de distance critique Ă lâĂ©gard des phĂ©nomĂšnes culturels et des savoirs dimension subjectiveLa dimension subjective dĂ©signe le sujet, son implication dans des projets culturels, son histoire comme sujet de culture Jellab, 2001, son activitĂ© rĂ©flexive Ă lâĂ©gard des objets quâil sâapproprie et des pratiques auxquelles il se livre, ainsi que ses reprĂ©sentations de la culture. La dimension subjective recoupe aussi les projets qui mobilisent le sujet et lâamĂšnent Ă sâengager dans des pratiques culturelles, Ă se dĂ©velopper comme un sujet de culture. Elle se distingue de la dimension Ă©pistĂ©-mique dans la mesure oĂč elle met lâaccent sur lâeffort dâappropriation par un sujet de pratiques ou de savoirs aspects axiologiques jouent un rĂŽle de premier plan dans la dimension subjective. Ils dĂ©signent la valeur ou le sens Charlot, Bautier et Rochex, 1992 que lâindividu attribue Ă la culture. Cette question du sens est Ă la source de la mobi-lisation du sujet dans des projets culturels fait sens pour un individu quelque chose qui lui arrive et qui a des rapports avec dâautres choses de sa vie, des choses quâil a dĂ©jĂ pensĂ©es, des questions quâil sâest posĂ©es Charlot, 1997, p. 64. La dimension subjective comprend Ă©galement les aspects psychoaffectifs, soit les sentiments et les dĂ©sirs qui animent le sujet Beillerot, 2000 dans sa relation avec des pratiques ou des objets culturels le sentiment dâadhĂ©sion ou de rejet ; le plaisir ou le dĂ©plaisir que lâon retire en se livrant Ă des pratiques culturelles ; le sentiment dâaccomplis-sement ou la perte de sens qui en dimension socialeLa dimension sociale, enfin, place le sujet et son objet au cĆur des relations quâils tissent avec les hommes, les objets et les interprĂ©tations qui les dessinent â ce que Charlot 1997 distingue sous les appellations de rapport Ă lâautre et de rapport au monde. Les relations quâentretient un individu avec ses camarades, ses pairs, sa famille, ses professeurs, ses Ă©lĂšves jouent un rĂŽle prĂ©dominant dans la mesure oĂč elles influencent la structuration du rapport du sujet Ă la culture. De la mĂȘme façon, les diffĂ©rentes interprĂ©tations du monde auxquelles est confrontĂ© un indi-vidu dans ses relations sociales participent Ă la dĂ©finition de son rapport Ă la culture. Le dĂ©veloppement du sujet ne peut se faire que dans lâinteraction avec lâautre, qui sera nĂ©cessairement porteur dâune culture que lâindividu intĂ©grera ou non Ă ses projets personnels et Ă sa comprĂ©hension du monde. Deux plans dâun mĂȘme rapportLa culture mĂ©diatise toujours les relations entre les hommes. Chaque individu entretient en effet un rapport Ă la culture, rĂ©flexif ou non, en adoptant une distance plus ou moins critique Ă lâĂ©gard de ses pratiques et des acteurs culturels, peu importe sa profession, son Ă©ducation, son origine sociale, ses idĂ©ologies, etc. Il en est de mĂȘme pour celui ou celle qui enseigne. Ă ce titre, lâanalyse des textes des Ă©tudiants nous a conduits Ă prendre conscience de lâimpact de leur rapport Ă la culture sur leurs pratiques pĂ©dagogiques et sur leur prise en compte du rapport Ă la culture des Ă©lĂšves. En dâautres termes, le rapport Ă la culture de lâenseignant semble jouer un rĂŽle dĂ©terminant dans le dĂ©veloppement de la culture des Ă©lĂšves. Cette analyse du rapport Ă la culture dans lâenseignement nous a amenĂ©s Ă distin-guer deux plans de ce mĂȘme rapport, soit le plan individuel et le plan pĂ©dagogique, lequel dĂ©signe le rapport quâentretient lâenseignant avec la culture de lâĂ©lĂšve, dans la mesure oĂč il doit jouer le rĂŽle du passeur culturel Zakhartchouk, 1999. Cette distinction nâapparaĂźt pas dans les autres recherches ayant Ă©tudiĂ© la notion de rapport Ă ; elle sâest construite au fil de lâanalyse, dans la rĂ©alitĂ© complexe quâest celle de notre mĂ©thodologiquesCette Ă©tude constitue une recherche de type exploratoire9 et descriptif rĂ©alisĂ©e auprĂšs dâun Ă©chantillon de convenance, soit lâensemble de la cohorte n = 35 inscrite en deuxiĂšme annĂ©e dâun programme de formation initiale Ă lâenseignement du français au secondaire. Ces Ă©tudiants ont Ă©tĂ© sĂ©lectionnĂ©s parce quâau moment de rĂ©pondre Ă notre questionnaire, en septembre 2003, ils nâavaient suivi aucun cours abordant la notion de culture ou lâapproche culturelle de lâenseignement. Leurs reprĂ©sentations de la culture et de son enseignement ne sâappuyaient donc pas sur des contenus fraĂźchement appris Ă lâuniversitĂ©, mais bien sur les pratiques et les connaissances qui sont les leurs depuis plus de vingt ans. En outre, nâayant rĂ©alisĂ© quâun seul stage dâobservation en milieu scolaire â huit journĂ©es rĂ©parties sur une session de 15 semaines lâhiver prĂ©cĂ©dent â, il est permis de penser que leurs conceptions relatives Ă la culture nâont pas Ă©tĂ© significativement modifiĂ©es par les discours et les pratiques des enseignants. Ils nous semblaient donc les mieux Ă mĂȘme de nous aider Ă dĂ©crire et Ă explorer les relations possibles entre rapport Ă la culture et intĂ©gration de la dimension culturelle dans lâenseignement. Les Ă©tudiants ont Ă©tĂ© invitĂ©s Ă rĂ©pondre par Ă©crit, de façon libre, sans aucune indication conceptuelle, Ă deux seules questions Que signiïŹ e pour vous le terme de culture » ? Quel est, selon vous, le rĂŽle de lâenseignant dans le dĂ©veloppement culturel des Ă©lĂšves ? Cette mĂ©thode de cueillette de donnĂ©es sâinspire des bilans de savoir utilisĂ©s par lâĂ©quipe ESCOL auprĂšs dâĂ©lĂšves pour mieux comprendre leur rapport au savoir sans leur fournir dâindications quant aux rĂ©ponses attendues Charlot, En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 291 292 Revue des sciences de lâĂ©ducationBautier et Rochex, 1992. De plus, ces deux questions ouvertes nous permettaient de recueillir des donnĂ©es concernant les deux plans du rapport Ă la culture indi-viduel et de contenu LâĂcuyer, 1990 a Ă©tĂ© menĂ©e Ă lâaide dâune grille dâanalyse Ă catĂ©gories mixtes, câest-Ă -dire que certaines catĂ©gories avaient Ă©tĂ© prĂ©alablement dĂ©terminĂ©es Ă partir de notre cadre thĂ©orique â dimensions, plans et types de rapport Ă la culture â ; dâautres ont Ă©mergĂ© au cours du traitement des donnĂ©es Miles et Huberman, 2003. Il nous est par exemple apparu nĂ©cessaire de crĂ©er un ensemble scolaire, puisque cette posture sâest avĂ©rĂ©e dĂ©terminante dans le rapport Ă la culture quâentretenaient plusieurs Ă©tudiants et dans le rĂŽle quâils sâattribuaient dans le dĂ©veloppement culturel de leurs futurs mieux comprendre le type dĂ©simpliquĂ©, le plus difïŹ cile Ă circonscrire en raison de lâimprĂ©cision des rĂ©ponses, nous avons menĂ© une analyse de discours. En analysant lâĂ©criture des textes, nous nous sommes notamment interrogĂ©s sur lâimportance accordĂ©e au je dans lâĂ©nonciation des idĂ©es. Participe-t-il Ă un projet subjectif, personnel ? Quels sont les verbes soutenus par ce je ? LâĂ©tudiant obĂ©it-il Ă la consigne prescrite par les questions ? Recopie-t-il ces derniĂšres en commençant son texte ou se les approprie-t-il de façon plus ïŹ ne en les intĂ©grant Ă son propos ? Le langage choisi est-il uniquement rĂ©fĂ©rentiel ? Y a-t-il abstraction, dĂ©veloppement rĂ©ïŹ exif ? LâidĂ©e est-elle seulement mentionnĂ©e ou dĂ©veloppĂ©e, soutenue, argu-mentĂ©e, exempliïŹ Ă©e ? Y a-t-il un effort personnel de hiĂ©rarchisation, de catĂ©gori-sation ? LâĂ©tudiant intĂšgre-t-il les dimensions du sujet, de lâautre, du monde ? Quelles sont les mĂ©taphores quâil utilise pour dĂ©ïŹ nir la culture, la personne, lâen-seignant ?Lâanalyse des Ă©noncĂ©s sâest faite non pas par reprĂ©sentativitĂ© statistique mais en fonction de leur caractĂšre typique Charlot, Bautier et Rochex, 1992. Câest-Ă -dire que les Ă©noncĂ©s retenus traduisaient des constellations de caractĂ©ristiques domi-nantes dans la population Ă©tudiĂ©e, pour les quatre types de rapport Ă la culture â dĂ©simpliquĂ©, scolaire, instrumentaliste et intĂ©gratif-Ă©volutif. Ces derniers se sont prĂ©cisĂ©s au ïŹ l de lâanalyse, se cristallisant autour des formes qui apparaissaient les plus dominantes dans les textes des Ă©tudiants. Quatre types de rapport Ă la cultureConsidĂ©rant certaines des plus importantes catĂ©gorisations du rapport au savoir Caillot, 2001 ; Charlot et collab., 1992 ; Jellab, 2001, les donnĂ©es sur lesquelles elles sâappuient et celles que nous avons recueillies auprĂšs des futurs enseignants, nous avons distinguĂ© quatre types de rapport Ă la culture scolaire, instrumentaliste, intĂ©gratif-Ă©volutif et dĂ©simpliquĂ©. Il importe de prĂ©ciser que les quatre types se sont construits au fil de lâanalyse, se cristallisant autour des formes qui apparais-saient les plus dominantes dans les textes des Ă©tudiants. Il nous est ainsi apparu nĂ©cessaire de crĂ©er un ensemble scolaire, puisque cette posture sâest avĂ©rĂ©e dĂ©ter-minante dans le rapport Ă la culture de plusieurs Ă©tudiants et dans le rĂŽle quâils sâattribuent dans le dĂ©veloppement culturel de leurs futurs Ă©lĂšves. Dans la section suivante, nous prĂ©senterons chacun des quatre types dans ses trois dimensions â Ă©pistĂ©mique, subjective et sociale â pour les deux plans dĂ©gagĂ©s â individuel et pĂ©dagogique. Pour ce faire, nous procĂ©derons Ă lâanalyse de cas dâĂ©tudiants qui constituent des figures idĂ©altypiques de rapport Ă la culture. Le rapport Ă la culture de type scolaireLorsquâon demande Ă des Ă©tudiants de dĂ©finir ce que signifie pour eux la culture, ceux qui ont un rapport scolaire Ă celle-ci reprennent gĂ©nĂ©ralement le sens quâen donnent les dictionnaires Le Petit Robert, Le Petit Larousse et oĂč dominent net-tement les termes connaissance et savoir. Comme lâĂ©crit Ă16, [la] culture se dĂ©finit comme lâensemble des connaissances acquises chez un individu. Elle se rĂ©sume Ă des connaissances juxtaposĂ©es, sans que le texte de lâĂ©tudiant ne fasse rĂ©fĂ©rence Ă leur intĂ©gration dans des pratiques ou des projets culturels. Pour Ă16, qui reprĂ©sente sur les plans individuel et pĂ©dagogique un idĂ©altype du rapport scolaire Ă la culture, celle-ci est comprise essentiellement Ă partir des repĂšres construits au fil de son histoire scolaire, dâoĂč lâomniprĂ©sence de lâĂ©lĂšve dans ses rĂ©flexions LâĂ©lĂšve est comme la terre fertile. Ă son arrivĂ©e Ă lâĂ©cole, il reçoit toutes sortes dâinformations, comme la terre fertile oĂč lâon plante des graines. Il y a donc une rencontre entre la culture premiĂšre dâun sujet A et des objets culturels B, mais qui repose sur un faible niveau dâactivitĂ© du sujet C, dâoĂč la rupture entre les phases B et C dans le processus illustrĂ© par la Figure 1, et le peu dâappropriation de la culture qui en rĂ©sulte CâD. On ne peut parler dâexpĂ©riences culturelles qui transformeraient le rapport Ă la culture de lâindividu, au monde et Ă lui-mĂȘme DâAâ â Aâ reprĂ©-sentant la culture premiĂšre transformĂ©e par la rencontre culturelle. Sur le plan pĂ©dagogique, les textes des Ă©tudiants oĂč domine un rapport scolaire Ă la culture sâarticulent autour de trois termes clĂ©s connaissance, modĂšle et trans-mission. Ces termes structurent la relation pĂ©dagogique et la relation Ă la culture autour de la ïŹ gure de lâenseignant Ă lâĂ©cole, la source majeure des connaissances acquises par lâĂ©lĂšve provient dĂ©ïŹ nitivement de lâenseignant. Ce dernier doit lui-mĂȘme Figure 1En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 293LĂ©gende pour les quatre figures A = PrĂ©comprĂ©hension du sujetB = Rencontre avec des objets, des savoirs et des acteurs culturelsC = ActivitĂ© dâapprentissage du sujetD = Appropriation et intĂ©gration Ă la culture du sujet 294 Revue des sciences de lâĂ©ducationĂȘtre cultivĂ© aïŹ n de transmettre de lâinformation Ă ses Ă©lĂšves et ainsi, les cultiver Ă leur tour Ă16. Comme le montre cette citation, lâenseignant est dĂ©positairede la connaissance, il est celui qui rĂ©pond aux questions et pas celui qui les pose, il se donne en modĂšle et transmet ses connaissances pour que les Ă©lĂšves deviennent Ă leur tour connaissants. Le sens de la pratique pĂ©dagogique consiste surtoutdans cet effort pour conduire lâĂ©lĂšve vers un idĂ©al de culture, incarnĂ© par la connais-sance. Celle-ci reprĂ©sente alors essentiellement le pĂŽle normatif vers lequel cha-cun doit tendre. Dans la classe, la culture est un donnĂ© qui nâest pas reconstruit collectivement, un objet Ă apprendre, Ă rĂ©citer, Ă reproduire, dont on ne remet enquestion ni lâhistoire ni la pertinence sociale et qui nâest pas transposĂ© dansdes pratiques culturelles signiïŹ antes Lâenseignant est un modĂšle pour les Ă©lĂšves,plus son savoir est large, plus il assume le rĂŽle de mĂ©diateur de culture Ă16. En rĂ©fĂ©rence Ă la Figure 1, on ne peut parler dâun apprentissage conscient et volontaire C. Le rapport Ă la culture de type instrumentalisteLes discours rattachĂ©s au type instrumentaliste, comme celui de Ă28, mettent clairement en scĂšne un sujet A et des savoirs culturels B. Seulement, celui-lĂ utilise plutĂŽt ces savoirs comme des instruments faits sur mesure pour des pro-jets impliquant un investissement fermĂ© sur la tĂąche Ă accomplir, sur lâĂ©tape Ă savoirs culturels sont considĂ©rĂ©s dâabord en vertu de leur rentabilitĂ© prag-matique ou symbolique, dans la mesure oĂč ils permettent lâaction efïŹ cace, lâob-tention dâun poste, dâun diplĂŽme, lâascension sociale En effet, les gens qui nâont pas une grande culture gĂ©nĂ©rale ne peuvent entretenir des conver-sations intĂ©ressantes avec certaines personnes, selon ces derniĂšres. Nous sommes tous amenĂ©s, un jour ou lâautre, Ă discuter avec une personne qui en sait tellement plus que nous sur certains sujets quâelle nous rend mal Ă lâaise. Toutefois, nous admirons cette personne et voudrions lui ressembler. [âŠ] les hommes, depuis toujours, accordent plus de valeur aux gens qui sont savants quâĂ ceux qui nâont pas beaucoup dâĂ©ducation Ă28. Lâindividu vit des rencontres culturelles, apprend volontiers des savoirs cultu-rels, mais le discours de Ă28 montre que lâobjectif poursuivi ne rĂ©side pas dansle dĂ©veloppement rĂ©ïŹ exif du sujet D, dans sa comprĂ©hension des choses etdu monde, mĂȘme si lâapprentissage C fait partie intĂ©grante de ses prĂ©occupa-Figure 2 tions, dâoĂč la rupture entre les phases C et D dans le processus illustrĂ© par laFigure 2. Sur le plan pĂ©dagogique, lâinstrumentaliste accorde une place importante Ă la culture dans sa classe, mais pas dans lâoptique du dĂ©veloppement dâun sujet rĂ©ïŹ exif. Ă28 explique Ă sa maniĂšre les raisons pour lesquelles il ne peut se prĂ©occuper ni du dĂ©veloppement du sujet ni de la rĂ©ïŹ exion sur la culture dans la classe Câest avec lâĂąge et lâaccumulation de connaissances que les Ă©lĂšves vont en voir la valeur. La culture pourra servir si le sujet, Ă©ventuellement, en voit lâutilitĂ©. Elle devient alors un outil parmi tant dâautres, qui sert Ă donner du sens Ă lâĂ©cole. La dimension subjective du rapport Ă la culture nâest alors prise en compte que dans la mesure oĂč lâenseignant montre ou explique Ă lâĂ©lĂšve que ce quâil apprend Ă lâĂ©cole peut ĂȘtre utile dans la vie pour rĂ©gler des problĂšmes concrets. En dâautres termes, les aspects axiologiques â la valeur et le sens de la culture â sont perçus en fonction de lâutilitĂ© de la culture. Lâenseignement sert des ïŹ ns pragmatiques, câest-Ă -dire que les pratiques et les savoirs culturels ne sont pas considĂ©rĂ©s pour eux-mĂȘmes, mais pour ce quâils permettent de rĂ©aliser En effet, pour rendre ses cours intĂ©ressants, lâenseignant doit se baser sur des faits actuels et culturels. Un enseignement trop traditionnel, avec des exercices qui nâont pas de lien avec lâunivers des jeunes, risque de ne pas les rejoindre Ă28. On cherche Ă toucher les Ă©lĂšves non pas pour les amener Ă se questionner sur le monde et sur leur culture, mais pour rendre les cours intĂ©ressants. Les ïŹ nalitĂ©s sont essentiellement dâordre pragmatique la culture permettant lâaction efïŹ rapport Ă la culture de type intĂ©gratif-Ă©volutifĂ lâinstar de Ă9, un Ă©tudiant reprĂ©sentant lâidĂ©altype de ce rapport sur les plans individuel et pĂ©dagogique, les textes des Ă©tudiants qui ont un rapport intĂ©gratif-Ă©volutif dĂ©finissent la culture comme un processus dialogique, ouvert et dyna-mique la culture concerne les crĂ©ations produites par les humains au cours de lâhistoire dans les diffĂ©rents domaines de lâactivitĂ© humaine. [ElleâŠ] est un ensemble dynamique qui est constamment enrichi par les crĂ©ations individuelles des humains. Cette facette de ma dĂ©finition implique davantage lâindividu et traduit bien le carac-tĂšre Ă©volutif de la culture Ă9. Il ne saurait y avoir de culture sans appropriation D, sans un sujet A qui cherche Ă comprendre C les objets, les pratiques et les savoirs culturels B, qui questionne les autres et qui se questionne pour se redĂ©finir DâA, comme lâillustre la Figure 3En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 295 296 Revue des sciences de lâĂ©ducationAinsi comprise, la culture est structurante pour le sujet intĂ©gratif-Ă©volutif ; elle permet de se construire une reprĂ©sentation du monde Ă9.En outre, de ce rapport Ă la culture dĂ©coulent des pratiques rĂ©guliĂšres et diver-siïŹ Ă©es la lecture et lâĂ©criture, la pratique musicale ou la photographie, la visite de musĂ©es ou le voyage, le visionnement de ïŹ lms ou le théùtre. Autant de pratiques qui intĂšgrent de nouveaux signes et de nouvelles signiïŹ cations, qui permettent de dĂ©passer ses limites et de sâouvrir sur le monde. Cette ouverture implique certes la curiositĂ©, mais elle engage aussi et surtout la rĂ©ïŹ exivitĂ©, qui permet de regarder de façon critique [âŠ] les diverses productions et reprĂ©sentations issues des champs dâactivitĂ©s humaines Ă9. De ce point de vue, la culture est dessinĂ©e par une rĂ©ïŹ exion qui suppose une posture Ă©pistĂ©mologique, câest-Ă -dire une position de recherche, de questionnement, de critique par rapport Ă la culture. On peut dire que ce qui caractĂ©rise le rapport intĂ©gratif-Ă©volutif sur le plan individuel pour Ă9 se prolonge et se traduit sur le plan pĂ©dagogique. Ainsi, plutĂŽt que de viser lâencyclopĂ©disme, lâenseignant, selon cet Ă©tudiant, place les Ă©lĂšves dans une position de recherche et de questionnement par rapport Ă la culture. Il les met non pas en prĂ©sence de rĂ©ponses toutes faites, mais en quĂȘte de questions, et les encourage Ă dĂ©velopper une attitude critique non seulement Ă lâĂ©gard des pratiques et des savoirs culturels, mais aussi Ă lâĂ©gard de leurs actions, de leurs opinions et de leurs valeurs Ă9. Le pĂ©dagogue se fait Ă©galement sensible Ă la question du sens des pratiques et des savoirs culturels pour lâĂ©lĂšve ConsidĂ©rer lâenseignement comme une pratique essentiellement culturelle permet de faire le lien entre ce qui est abordĂ© Ă lâĂ©cole par le biais des activitĂ©s dâapprentissage et ce Ă quoi les jeunes sont confrontĂ©s dans leur milieu ou dans la sociĂ©tĂ© Ă9. Il verra Ă prendre en compte lâunivers culturel des jeunes Ă9, leurs savoirs et leurs pratiques, leurs intĂ©rĂȘts et leurs dĂ©sirs, pour en faire de vĂ©ritables sujets de culture qui ne se limitent pas Ă apprendre les savoirs, mais qui se les approprient, les intĂšgrent de façon critique dans des prati-ques culturelles, des projets personnels Il revient Ă lâenseignant dâaider les Ă©lĂšves Ă interprĂ©ter ces Ă©lĂ©ments culturels. Câest important pour que chaque jeune dĂ©veloppe la connaissance quâil a de lui-mĂȘme et du monde qui lâentoure et que chacun parvienne Ă prendre position envers les enjeux ou dĂ©bats qui animent la sociĂ©tĂ© Ă9. Ă ce titre, la dimension culturelle permet aux jeunes de construire leur identitĂ© et leur vision du monde Ă9. Un tel idĂ©altype se distingue de lâinstrumentaliste parce que, en pui-sant dans la culture de lâĂ©lĂšve, il vise le dĂ©veloppement dâune attitude rĂ©ïŹ exive qui transforme le rapport au monde et Ă soi. EnïŹ n, si le futur enseignant se voit comme un acteur essentiel de la construction des savoirs culturels, il nâest pas le canal unique de lâapprentissage. Aussi privilĂ©gie-t-il des approches pĂ©dagogiques qui placent lâĂ©lĂšve dans des situations de co-cons-truction des savoirs, des idĂ©es, des reprĂ©sentations, des situations qui favorisent les Ă©changes avec les autres. Le rapport Ă la culture de type dĂ©simpliquĂ©Comment comprendre le discours de ces individus qui ne structurent pas de projets culturels, qui ne mettent en jeu aucun sujet et qui peinent, dans leur Ă©cri-ture, Ă construire une rĂ©flexion qui traduirait une quelconque appropriation de la culture, comme objet ou comme rapport ? Jellab 2001 recourt Ă lâadjectif dĂ©sim-pliquĂ© pour caractĂ©riser cette expĂ©rience insensĂ©e » dâun rapport peu construit au savoir p. 197 ou, dans notre cas, Ă la culture. Ă5 reprĂ©sente bien lâidĂ©altype de ces Ă©tudiants quâon ne peut classer dans lâun des trois types dĂ©crits prĂ©cĂ©demment, parce quâil entre peu ou pas en dialogue avec des pratiques ou des savoirs culturels. Lâanalyse de son discours traduit plutĂŽt un monologue confinĂ© aux horizons de la culture premiĂšre A, comme le reprĂ©sente la double flĂšche de la Figure recourt Ă des termes peu prĂ©cis, qui suggĂšrent une certaine difïŹ cultĂ© Ă dĂ©ïŹ nir la culture celle-ci est un englobement10 de connaissances. Quant Ă la personne cultivĂ©e, elle pose un regard intĂ©ressĂ© sur les choses11 qui lâentoure et qui accepte de faire de nouvelles dĂ©couvertes [âŠ]. De façon plus prĂ©cise, la culture est dâaprĂšs moi le dĂ©veloppement intellectuel quâune personne acquiert selon les diffĂ©rents comporte-ments quâelle adopte. Plusieurs combinatoires lexicales et constructions synta-xiques sont erronĂ©es acquĂ©rir un dĂ©veloppement, acquĂ©rir selon des comportements ; les oppositions tracĂ©es sont ambigĂŒes Au contraire, une personne qui nâest pas ouverte sur ce qui se passe dans la vie politique, sociale ou artistique adoptera un comportement en consĂ©quence. Ă5 ne prĂ©cise pas la nature de ces comportements ni leur lien avec lâimplication du sujet. Il ne fait pas non plus rĂ©fĂ©rence Ă des Ă©changes possibles autour de la culture qui ne sâincarne dâailleurs, Ă traversson discours, dans aucune pratique sociale sufïŹ samment Ă©laborĂ©e pour ĂȘtre iden-tiïŹ le plan pĂ©dagogique, le sujet dĂ©simpliquĂ© nomme certes lâĂ©lĂšve, mais ce dernier nâest pas mis en jeu de façon active. LâactivitĂ© inscrite dans le discours ne se rattache pas Ă des pratiques culturelles sur lesquelles Ă5 aurait une prise assurĂ©e et rĂ©ïŹ Ă©chie comme enseignant de français la perspective culturelle permettra aux enseignants de faire des discussions avec les Ă©lĂšves et de partager de nombreuses dĂ©couvertes. Les enseignants ont la possibilitĂ© de transmettre des informations concernant une matiĂšre spĂ©ciïŹ que, mais [ils doivent] Ă©galement amener les Ă©lĂšves Ă prendre conscience de la diversitĂ© culturelle dans laquelle ils vivent. [Ils doivent] inciter les Ă©lĂšves Ă se questionner et Ă dĂ©couvrir dâautres aspects de la vie que ce quâilsFigure 4En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 297 298 Revue des sciences de lâĂ©ducationconnaissent dĂ©jĂ . Comme le montre cette citation, le discours dâĂ5 est Ă©maillĂ© de quelques rĂ©fĂ©rences Ă la culture diversitĂ© culturelle, dĂ©couvrir dâau tres aspects de la vie, mais il emploie des expressions ïŹ oues qui ne se rapportent ni Ă la classe de français ni Ă des savoirs ou pratiques identiïŹ ables. LâhĂ©sitation dans le propos est dâailleurs palpable Ă travers de nombreuses expressions mises en italique dans les derniĂšres citations ou dans lâusage abondant de la modalisation Lâenseignant qui a un bagage culturel dĂ©veloppĂ© peut faire part de ses voyages ou encore des piĂšces de théùtre et des expositions auxquelles il a assistĂ©. Lorsque lâenseignant discute de ses propres expĂ©riences, les Ă©lĂšves sont souvent plus intĂ©ressĂ©s. [âŠ] Cela leur donnera peut-ĂȘtre le goĂ»t de participer, eux aussi, Ă des activitĂ©s de la sorte pour enrichir leurs connaissances Ă5. Le discours employĂ© traduit sinon une certaine indĂ©cision, Ă tout le moins une grande prudence du futur enseignant. SynthĂšse des rĂ©sultats observĂ©s et pistes dâanalyseLes 35 textes analysĂ©s sont pour une large majoritĂ© en concordance sur le plan individuel et sur le plan pĂ©dagogique 29 sujets, soit 83 %. Nous avons nĂ©anmoins constatĂ© quelques dĂ©calages chez certains sujets pour lesquels le rapport Ă la culture est de type instrumentaliste sur le plan individuel, mais scolaire sur le plan pĂ©da-gogique ; ou encore intĂ©gratif-Ă©volutif sur le plan individuel, mais instrumentaliste sur le plan pĂ©dagogique. Un cas de dĂ©calageĂ30 illustre un tel dĂ©calage. Sur le plan individuel, il construit sa dĂ©finition de la culture autour des notions essentielles de construction et dâĂ©volution. Citant avec Ă propos un document du ministĂšre français de la Culture, il place au cĆur de sa dĂ©finition le caractĂšre construit et dynamique de la culture La culture ne se dĂ©crĂšte pas, elle se construit, se vit et se rĂ©invente dans une pluralitĂ© de pratiques sociales Ă30. La suite de son texte montre quâil sâest appropriĂ© cette citation, notamment lorsquâil souligne le caractĂšre rĂ©flexif de la culture, qui permet au sujet de se remettre en question Une personne cultivĂ©e, câest quelquâun qui sâintĂ©resse Ă des domaines diffĂ©rents, qui Ă©coute et porte intĂ©rĂȘt Ă ce que les autres ont Ă lui apprendre, qui est conscient de son savoir, mais surtout de son manque de savoir et qui souhaite toujours en apprendre plus Ă30.En revanche, quand Ă30 explicite sa conception du dĂ©veloppement culturel sur le plan pĂ©dagogique, son discours traduit un certain glissement entre le portrait quâil trace de lui-mĂȘme comme sujet rĂ©ïŹ exif et le regard posĂ© sur la culture de lâĂ©lĂšve. Sâil se voit comme un sujet critique de sa culture sur le plan individuel, cette dimension nâapparaĂźt plus dans sa rĂ©ïŹ exion sur le dĂ©veloppement de lâĂ©lĂšve comme sujet de culture. Dans la classe, celle-ci vise moins Ă dĂ©velopper des sujets critiques quâĂ motiver, divertir, diversiïŹ er les contenus dâapprentissage Le profes-seur doit exploiter diverses stratĂ©gies dâapproche et traiter de diffĂ©rents sujets culturels pour stimuler lâintĂ©rĂȘt des Ă©lĂšves. [âŠ] La culture semble ĂȘtre un bon moyen pour augmenter la motivation scolaire des jeunes Ă30. Ainsi comprise, la culture est un outil pĂ©dagogique parmi tant dâautres qui a pour ïŹ nalitĂ© de susciter la motivation scolaire. Comme nous lâavons vu avec Ă28, qui a un rapport Ă la culture instru-mentaliste concordant sur les plans individuel et pĂ©dagogique, lâenseignant intĂšgre des Ă©lĂ©ments de culture non pas pour amener les Ă©lĂšves Ă se questionner sur le monde et sur leur culture, mais pour rendre les cours intĂ©ressants Ă28. Ă30 prĂ©-sente ainsi la culture comme des stratĂ©gies qui proposent un enseignement plus dynamique et mieux adaptĂ© aux goĂ»ts des jeunes [âŠ] dans un cadre plus original et stimulant qui suscite lâenthousiasme des comprendre ce dĂ©calage ? Pourquoi cet Ă©tudiant, intĂ©gratif-Ă©volutif sur le plan individuel, ne se reprĂ©sente-t-il pas lâĂ©lĂšve comme un sujet de culture ? Les donnĂ©es que nous avons colligĂ©es dans cette enquĂȘte prĂ©liminaire ne nous permettent pas dâapporter de rĂ©ponses claires Ă ces questions, mais les cas de dĂ©calage observĂ©s nous lancent nĂ©anmoins sur une piste qui mĂ©rite dâĂȘtre appro-fondie nous nâavons observĂ© dans les textes analysĂ©s aucun cas dâĂ©tudiant prĂ©sen-tant un rapport Ă la culture intĂ©gratif-Ă©volutif sur le plan pĂ©dagogique qui nâa pas un tel rapport sur le plan individuel. Câest dire que les futurs enseignants soucieux du dĂ©veloppement culturel de leurs Ă©lĂšves le sont aussi du leur. Inversement, les individus conscients de leur propre culture et de son caractĂšre Ă©volutif ne se sou-cient pas forcĂ©ment de la culture de leurs Ă©lĂšves. En consĂ©quence, on ne peut donc tenir pour acquis que les Ă©tudiants cultivĂ©s feront nĂ©cessairement de bons passeurs prĂ©dominance du type instrumentalisteNous avons constatĂ© que les concordances les plus marquĂ©es se retrouvent chez les Ă©tudiants ayant un rapport instrumentaliste Ă la culture, 14 des rĂ©pondants manifestant cette concordance. Les chiffres du Tableau 1 nous suggĂšrent quâil y a une dominance marquĂ©e du type instrumentaliste, surtout sur le plan pĂ©dagogique, puisque plus de la moitiĂ© Tableau 1RĂ©partition des types n = 35, des concordances et des dĂ©calagesTypes Plan individuel Plan pĂ©dagogique Concordance DĂ©calageDĂ©simpliquĂ© 4 11 % 3 9 % 3Scolaire 3 9 % 5 14 % 3Instrumentaliste 15 43 % 18 51 % 14IntĂ©gratif-Ă©volutif 13 37 % 9 26 % 9Total 35 100 % 35 100 % 29 83 % 6 17 %En amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 299des Ă©tudiants interrogĂ©s 18 sur 35, soit 51 % conçoivent que le rĂŽle de la culture est dâenrichir les interactions en classe, de motiver les Ă©lĂšves, dâĂ©veiller leur curio-sitĂ©, de favoriser la rĂ©alisation dâune action efïŹ cace ou dâacquĂ©rir un certain capital 300 Revue des sciences de lâĂ©ducationsymbolique. Bref, pour une majoritĂ© de futurs enseignants, les objets, les pratiques et les savoirs culturels doivent ĂȘtre prĂ©sentĂ©s parce quâils sont utiles, non parce quâils contribuent Ă donner sens au monde, Ă soi-mĂȘme et Ă lier cette prĂ©dominance du type instrumentaliste au contexte socio-culturel du systĂšme dâenseignement quĂ©bĂ©cois, câest-Ă -dire aux orientations, aux programmes et aux pratiques dâenseignement qui ont marquĂ© son Ă©volution depuis une trentaine dâannĂ©es, en particulier lâenseignement du français ? Nos donnĂ©es ne nous permettent Ă©videmment pas de rĂ©pondre Ă une question aussi complexe12. Il est nĂ©anmoins permis de penser que la dominance instrumentaliste dans notre Ă©chantillon est en partie liĂ©e au systĂšme dâenseignement quĂ©bĂ©cois marquĂ© par une conception instrumentale de lâenseignement du français et de la langue Chartrand, 2005. Former des passeurs culturels impliquerait donc de prendre en compte lâhistoire scolaire des Ă©tudiants comme sujets de culture et de mettre en place des dispositifs de formation qui les amĂšnent Ă rĂ©ïŹ Ă©chir et Ă travailler explicitement sur les plans individuel et pĂ©dagogique du rapport Ă la culture. ConclusionLes divers types prĂ©sentĂ©s ici, leur dispersion au sein de lâĂ©chantillon analysĂ©, le problĂšme des deux plans qui doivent ĂȘtre considĂ©rĂ©s dans leurs spĂ©cificitĂ©s et dans leur complĂ©mentaritĂ© montrent que lâapproche culturelle en français ne peut ĂȘtre abordĂ©e uniquement sous lâangle de lâapprentissage et de lâorganisation des savoirs dans la classe. Elle sâancre avant tout dans ceux que lâon nomme passeurs, mĂ©dia-teurs, guides, interprĂštes, câest-Ă -dire ceux qui ont charge de penser la culture comme le point dâancrage du dĂ©veloppement des jeunes Ă qui ils enseignent. Lâapproche culturelle de lâenseignement sâenracine donc en amont de la classe. Avant de prendre forme dans des activitĂ©s dâenseignement-apprentissage, elle sâincarne dans le rapport de lâindividu avec la culture â plan individuel â, mais aussi dans le rapport de lâenseignant avec la culture de lâĂ©lĂšve â plan pĂ©dago-gique. Dans cette recherche, nous avons Ă©tĂ© sensibles Ă la question de la culture des enseignants. Seulement, au lieu de dĂ©noncer leurs lacunes, ce Ă quoi se livre volon-tiers la parole publique au QuĂ©bec, dans les mĂ©dias, les universitĂ©s, les Ă©coles, nous avons proposĂ© un cadre thĂ©orique qui permet dâen Ă©tudier les causes et les mani-festations et, surtout, de comprendre les relations de ces derniĂšres avec le dĂ©velop-pement de la culture des Ă©lĂšves. Ce texte ne prĂ©sente quâune premiĂšre esquisse dâune recherche plus vaste qui nous amĂšnera Ă interroger des enseignants et des Ă©tudiants en enseignement du français et Ă observer les premiers dans leur ensei-gnement, pour Ă©tudier ces relations complexes qui inïŹ uencent la mise en Ćuvre dâune approche culturelle en classe de français. NĂ©anmoins, lâanalyse de contenu et de discours que nous avons menĂ©e dans cet article Ă partir de cinq ïŹ gures idĂ©al-typiques du rapport Ă la culture nous autorise Ă penser que le cadre thĂ©orique prĂ©sentĂ© ici constitue une avancĂ©e thĂ©orique et pratique fĂ©conde pour penser la formation des enseignants au regard de lâapproche culturelle de lâenseignement. Notes1. LâĂ©tude comparative de Sharp et Le MĂ©tais 2000 a Ă©tĂ© menĂ©e dans dix-neuf systĂšmes Ă©du-catifs Australie, Canada, Angleterre, France, Allemagne, Hong Kong, Hongrie, Italie, Irlande du Nord, RĂ©publique dâIrlande, Japon, RĂ©publique de CorĂ©e, Pays-Bas, Nouvelle-ZĂ©lande, Singapour, Espagne, SuĂšde, Suisse, Le genre masculin est utilisĂ© Ă la seule fin dâallĂ©ger le Cette volontĂ© de resserrer les liens entre lâĂ©cole et la culture nâest pas exclusive au QuĂ©bec. Comme le souligne Kerlan 2005, un mouvement semblable sâest engagĂ© en France. 4. Cette classification sâinspire dâun texte non publiĂ© dâHĂ©loĂŻse CĂŽtĂ©, prĂ©parĂ© dans le cadre dâun sĂ©minaire de doctorat. 5. Il ne sâagit Ă©videmment pas dâune liste exhaustive. Nous nous en sommes tenus Ă lâespace quĂ©bĂ©cois et aux travaux des douze derniĂšres annĂ©es qui sont reprĂ©sentatifs de ces efforts de recherche. 6. Comme nous le verrons, si tout rapport Ă la culture comprend une reprĂ©sentation de celle-ci, il ne sây rĂ©duit pas. 7. Cette recherche est exploratoire au sens oĂč elle nous a permis de dĂ©velopper un programme de recherche subventionnĂ© par le Conseil de recherche en sciences humaines du Canada CRSH, 2005-2008 et le Fonds quĂ©bĂ©cois de recherche sociĂ©tĂ© et culture FQRSC, 2005-2008. Ce pro-gramme de recherche est menĂ© par le GREC Groupe de Recherche Enseignement et Culture dont les professeurs responsables sont Denis Simard et Ărick Falardeau, et les assistantes, Judith Ămery-Bruneau et HĂ©loĂŻse CĂŽtĂ©. 8. Il sâagit dâune thĂ©orie Ă©laborĂ©e par le groupe ESCOL, lâĂ©quipe de recherche Ăducation, socia-lisation, collectivitĂ©s locales de lâUniversitĂ© Paris 8, fondĂ©e par Ălisabeth Bautier, Bernard Charlot et Jean-Yves LâĂ©tude prĂ©sentĂ©e dans cet article a dĂ©bouchĂ© sur une recherche de plus grande envergure financĂ©e par le CRSH et le FQRSC 2005-2008 Le rapport Ă la culture des enseignants de français dans le dĂ©veloppement dâune approche culturelle de lâ Les italiques dans ces citations sont de nous ; ils soulignent lâemploi de termes gĂ©nĂ©raux non Le nom choses revient trois fois en une page pour dĂ©signer ce quâenglobe la Les entretiens et les captations vidĂ©o que nous effectuerons en 2006 et 2007 devraient tou-tefois nous permettre de mieux comprendre dans quelle optique les enseignants de français intĂšgrent la culture dans leur amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 301 302 Revue des sciences de lâĂ©ducationRĂ©fĂ©rencesBautier, Ă. 2002. Du rapport au langage question dâapprentissages diffĂ©renciĂ©s ou de didactique ? Pratiques, 113-114, H. 2001. La portĂ©e pĂ©dagogique des rĂ©fĂ©rents culturels. Vie pĂ©dagogique, 118, 44-47. Beillerot, J. 2000. Formes et formations du rapport au savoir. Paris Lâ G. 2001. La formation des futurs enseignants contribue-t-elle sufïŹ samment Ă leur culture ? Dans L. Julien et L. Santerre Dir. Lâapport de la culture Ă lâĂ©ducation. MontrĂ©al Ăditions Nouvelles. Caillot, M. 2001. Y a-t-il des Ă©lĂšves en didactique des sciences ? Ou quelles rĂ©fĂ©rences pour lâĂ©lĂšve ? Dans A. Terrisse Dir. Didactique des disciplines. Les rĂ©fĂ©rences au savoir. Bruxelles De Boeck B. 1997. Du rapport au savoir. ĂlĂ©ments dâune thĂ©orie. Paris B., Bautier, Ă. et Rochex, 1992. Ăcole et savoir dans les banlieues et ailleurs. Paris Armand 2005. Pour une culture de la langue Ă lâĂ©cole. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUni-versitĂ© A. et Saint-Jacques, D. 2005. La culture Ă lâĂ©cole et dans la formation des ensei-gnants. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© supĂ©rieur de lâĂ©ducation â CSĂ 1994. RĂ©nover le curriculum du primaire et du secondaire. QuĂ©bec ministĂšre de lâ H. 2004. En quĂȘte dâune approche culturelle appliquĂ©e Ă lâenseignement du français, langue premiĂšre, au secondaire. MĂ©moire de maĂźtrise inĂ©dit. UniversitĂ© Laval, QuĂ©bec. Dumont, F. 1968. Le lieu de lâhomme. La culture comme distance et mĂ©moire. MontrĂ©al Hurtubise HMH. Falardeau, Ă. 2005. IntertextualitĂ© et didactique le prĂ©alable de la compĂ©tence culturelle. Dans Pottier Dir. Seules les traces font rĂȘver. Enseignement de la littĂ©rature et gĂ©nĂ©tique textuelle. Reims C. 2001. Former des pĂ©dagogues cultivĂ©s. Vie pĂ©dagogique, 118, C. 2002. La polyphonie des registres culturels, une question de rapports Ă la culture. Lâenseignant comme passeur, mĂ©diateur, lieur. Revue des sciences de lâĂ©ducation, 281, 215-236. InchauspĂ©, P. 1997. Comment corriger des lacunes des curriculums en matiĂšre de culture ? Dans C. Audet et D. Saint-Pierre Dir. Ăcole et culture, des liens Ă tisser. Sainte-Foy IQRC. Julien, L. 2001. La formation des enseignants et lâĂ©cole culturelle ou aculturelle. Dans L. Julien et L. Santerre Dir. Lâapport de la culture Ă lâĂ©ducation. MontrĂ©al Ăditions A. 2001. ScolaritĂ© et rapport aux savoirs en lycĂ©e professionnel. Paris Presses univer-sitaires de France. Kerlan, A. 2005. De lâĂ©cole des savoirs Ă lâĂ©cole de la culture vers un modĂšle esthĂ©tique de lâĂ©ducation scolaire. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© R. 1990. MĂ©thodologie de lâanalyse dĂ©veloppementale de contenu mĂ©thode GPS et concept de soi. Sillery Presses de lâUniversitĂ© du S. 2001. Les programmes dâarts plastiques, la culture et les projets Ă©ducatifs quĂ©bĂ©cois. Dans L. Julien et L. Santerre Dir. Lâapport de la culture Ă lâĂ©ducation. MontrĂ©al Ăditions Nouvelles. Matias, V., Lemerise, T. et Lussier-Desrochers, D. 2001. Le partenariat entre les Ă©coles secondaires et les musĂ©es points de vue dâenseignants de la rĂ©gion de MontrĂ©al. Revue des sciences de lâĂ©ducation, 221, 85-104. Mellouki, M. et Gauthier, C. 2005. Lâenseignant intellectuel et professionnel. Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© M. et Gauthier, C. 2003. Ăducation et culture. Les enseignants, les jeunes et les musĂ©es regards croisĂ©s. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© de lâĂducation du QuĂ©bec â MĂQ 1997. LâĂ©cole, tout un programme. QuĂ©bec Gouvernement du QuĂ©bec. MinistĂšre de lâĂducation du QuĂ©bec â MĂQ 2001. La formation Ă lâenseignement. Les orientations. Les compĂ©tences professionnelles. QuĂ©bec Gouvernement du de la Culture et des Communications â MCC et ministĂšre de lâĂducation du QuĂ©bec â MĂQ 2004. LâintĂ©gration de la dimension culturelle Ă lâĂ©cole. Document de rĂ©fĂ©rence Ă lâintention du personnel enseignant. QuĂ©bec Gouvernement du QuĂ©bec. Quintin, M. 1993. Partenariat arts, Ă©cole et culture ou comment aller plus loin avec dâautres. Dans IQRC et ministĂšre de la Culture, Recherche arts et culture. QuĂ©bec IQRC et ministĂšre de la Culture. Saint-Jacques, D. et ChenĂ©, A. 2002. La place effective de la culture dans le programme de formation. Dans C. Gauthier et D. Saint-Jacques Dir. La rĂ©forme des programmes scolaires au QuĂ©bec. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© Laval. Saint-Jacques, D., ChenĂ©, A., Lessard, C. et Riopel, 2002. Les reprĂ©sentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum. Revue des sciences de lâĂ©ducation, 281, 39-62. Saint-Jacques, D. 2001. DiffĂ©rentes maniĂšres dâintĂ©grer la perspective culturelle Ă lâĂ©cole. Vie pĂ©dagogique, 118, C. et Le MĂ©tais, J. 2000. The Arts, Creativity and Cultural Education An International Perspective. London QualiïŹ cations and Curriculum D. 2002a. Contribution de lâhermĂ©neutique Ă la clariïŹ cation dâune approche culturelle de lâenseignement. Revue des sciences de lâĂ©ducation, 281, 63-82. Simard, D. 2002b. Comment favoriser une approche culturelle de lâenseignement ? Vie pĂ©dagogique, 124, D. 2004. Ăducation et hermĂ©neutique. Contribution Ă une pĂ©dagogie de la culture. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© amont dâune approche culturelle de lâenseignement le rapport Ă la culture 303 304 Revue des sciences de lâĂ©ducationSimard, D. 2005. Comment penser aujourdâhui la nature et le rĂŽle de lâĂ©cole Ă lâĂ©gard de la formation culturelle des Ă©lĂšves ? Dans D. Simard et M. Mellouki Dir. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© D. et CĂŽtĂ©, H. 2005. Lâapproche culturelle dans lâenseignement du français. Dimensions et pistes pĂ©dagogiques. QuĂ©bec français, 139, D. et Falardeau, Ă. 2005. Dâune approche culturelle de lâenseignement Ă une pĂ©dagogie de la culture. Dans D. Biron, M. Cividini et Desbiens Dir. La profession enseignante au temps des rĂ©formes. Sherbrooke Ăditions du CRP. Simard, D. et Mellouki, M. 2005. Lâenseignement profession intellectuelle. QuĂ©bec Presses de lâUniversitĂ© 1999. Lâenseignant, un passeur culturel. Paris âą The importance that those involved in curriculum reform in Quebec place on the cultural approach in teaching has led to several research projects. However, few of these have examined the origins of this notion, that is, the relation to the culture of teachers. This article presents the theoretical frame of a definition of the relation to culture that the authors have cons-tructed. This is based on the works of Charlot 1997 and the results of research involving 35 second-year students in a French didactics course. An analysis of four ideal types of relation to culture led the authors to believe that the theoretical frame presented here is a promising direction both theoretically and practically for developing teacher training in terms of a cultural approach to words relation to culture, teaching, teacher training, French, cultural âą En Quebec, la importancia que los reformadores otorgan al enfoque cultural de la enseñanza se encuentra al origen de varias investigaciones. Sin embargo, pocos trabajos intentaron entender lo que se encuentra por encima de este enfoque, es decir la relaciĂłn a la cultura de los docentes. Este texto presenta el marco teĂłrico de una definiciĂłn de la relaciĂłn a la cultura que hemos construido inspirĂĄndonos de los trabajos de Charlot 1997 y de los resultados de una investigaciĂłn que se llevĂł a cabo con 35 estudiantes de segundo año en enseñanza del francĂ©s. El anĂĄlisis de cuatro tipos ideales de relaciĂłn a la cultura nos lleva a pensar que el marco teĂłrico aquĂ presentado constituye un avance teĂłrico y prĂĄctico para pensar la formaciĂłn docente respecto al enfoque cultural de la enseñanza. palabras-claves relaciĂłn a la cultura, enseñanza, formaciĂłn docente, francĂ©s, enfoque reçu le 15 mars 2006Version ïŹ nale reçue le 15 novembre 2006AcceptĂ© le 1er fĂ©vrier 2007 ... D'ailleurs, trĂšs peu de recherches quĂ©bĂ©coises ont portĂ© sur l'approche culturelle de l'enseignement afin de documenter quel serait le rapport Ă la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants. Seule l'Ă©quipe de Denis Simard, de l'UniversitĂ© Laval, a Ă©tudiĂ© le rapport Ă la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants, en particulier du baccalaurĂ©at en enseignement du français au secondaire Simard, Falardeau, Ămery-Bruneau et CĂŽtĂ©, 2007. Le travail d'exploration rĂ©alisĂ© par cette Ă©quipe a permis d'identifier quatre types de rapport Ă la culture du futur corps enseignant sur les plans individuel et pĂ©dagogique. ...... Le rapport Ă la culture est [u]n ensemble organisĂ© de relations dynamiques d'un sujet situĂ© avec des acteurs, des savoirs, des pratiques et des objets culturels » Simard et al., 2007, p. 289. Dans leur recherche exploratoire rĂ©alisĂ©e auprĂšs de futures enseignantes et de futurs enseignants de français du secondaire, l'Ă©quipe de Simard 2007 a pu relever quatre types de rapports Ă la culture, Ă la fois sur les plans individuel et pĂ©dagogique 1 dĂ©simpliquĂ© ; 2 scolaire ; 3 instrumentaliste ; 4 intĂ©gratif-Ă©volutif. Nous prĂ©sentons dans le tableau 1 ces quatre types de rapport Ă la culture Ă la maniĂšre de Simard et ses collĂšgues 2007 ...... Les rĂ©ponses aux trois questions clĂ©s portant sur les conceptions des futures enseignantes et des futurs enseignants ont Ă©tĂ© traitĂ©es par une analyse de contenu Bardin, 1997. Ces trois questions, dont les deux premiĂšres sont inspirĂ©es du travail de l'Ă©quipe de Simard 2007, Ă©taient les suivantes 1 Que signifie, selon vous, le terme culture »?; 2 Quel est, selon vous, le rĂŽle de l'enseignante ou de l'enseignant dans le dĂ©veloppement culturel des Ă©lĂšves?; 3 Que signifie, selon vous, ĂȘtre Passeur culturel » ? Notre analyse des rĂ©ponses Ă ces questions se divise en deux volets le premier concerne le type de rapport Ă la culture et le deuxiĂšme le dĂ©veloppement de ce rapport chez les futures enseignantes et les futurs enseignants. ...Le dĂ©veloppement de la compĂ©tence culturelle du corps enseignant apparait essentiel, en particulier lorsquâil est question de la pensĂ©e critique, une des compĂ©tences du 21e siĂšcle. Cet article prĂ©sente un portrait du rapport Ă la culture de futures enseignantes et de futurs enseignants ayant pris part au projet-pilote Passeurs culturels. Les donnĂ©es analysĂ©es rĂ©vĂšlent que plus de la moitiĂ© ont vu ce rapport se dĂ©velopper en quelques mois, contribuant ainsi Ă les rendre plus ouverts et critiques face au monde qui les entoure et Ă envisager de façon plus responsable leur rĂŽle de passeurs culturels auprĂšs des Ă©lĂšves.... Recent works in the field of education have targeted answering these questions. They can be grouped into two main categories analyses of the meaning of teaching from a cultural perspective ChenĂ© & Saint-Jacques, 2005;CĂŽtĂ© & Simard, 2006Gauthier, 2001;Mellouki & Gauthier, 2003;MonfĂ©rier, 1999;Saint-Jacques, ChenĂ©, Lessard, & Riopel, 2002;Simard, 2002;Simard, Falardeau, Emery-Bruneau, & CĂŽtĂ©, 2007 and the theoretical works on the relation between culture and education including Bruner, 1996;Gallagher, 1992;Giroux, 2000Giroux, , 2005Kerlan, 2004;Lorvellec, 2002. The first group of studies suggests that introducing students to culture requires not only teachers who are knowledgeable, but who also reflect on their culture and have developed their own sensitivity to their students' culture. ...... Every individual has a relation to culture, which is created by contexts, practices, relationships, knowledge, and values. It is this complex relation that we seek to understand by examining its components, namely, three spheres and two facets Simard et al., 2007. The three spheres are as follows. ...... The subjective sphere. This sphere concerns people as subjects of culture, their more or less reflexive activity, their representations of culture, their cultural practices and projects, the value they give to culture, and the desires and feelings that animate them in their relation to culture Simard et al., 2007. The subjective sphere refers to the motives that bring one to engage in cultural activities and projects and the importance one gives to this involvement. ...HĂ©loĂŻse CĂŽtĂ© Denis SimardĂrick FalardeauLouis-Philippe CarrierCarrier, CĂŽtĂ©, H., Ămery-Bruneau, J., Falardeau, Ă. & Simard D. 2010 Relation to Culture and Cultural Education on Students in High School French-as-a-First-Language Courses. Alberta Journal of Educational Research. 561 31-43. To enhance the cultural content of the curriculum, several governments are increasing the presence of cultural education in schools. How do high school French-as-a-first-language teachers perceive this education? To answer this question, we relied on the relation to culture theoretical framework and analyzed 32 questionnaires answered by high school French-as-a-first-language teachers. Our results suggest that the teachers' main role is to bring students to appreciate the cultural objects and practices associated with fine arts and literature and to develop their ability to distance themselves from their PouliotDĂšs le XIX e siĂšcle, des maisons dâĂ©dition laĂŻques la Librairie Beauchemin et Granger FrĂšres publient des piĂšces de théùtre Ă connotation nationaliste Ă lâintention des collĂ©giens des collĂšges classiques. Au XX e siĂšcle, ce sont des maisons dâĂ©dition religieuses qui contribuent Ă diffuser des piĂšces de théùtre Ă©crites intentionnellement pour les jeunes des collĂšges classiques. Les idĂ©ologies qui avaient cours, au dĂ©but du XIX e siĂšcle jusquâau milieu du XX e siĂšcle, vont imperceptiblement, au fil des dĂ©cennies, se transformer pour faire place Ă de nouvelles conceptions Ă©ditoriales du théùtre arrimĂ©es aux prĂ©occupations des jeunes adolescents, dans une sociĂ©tĂ© en mutation. Gregory . PapanikosThis book is based on papers presented in the 2006 education conference of the Athens Institute for Education and Research. The papers have been grouped into six parts. In this introduction the papers are presented as they fit into these six broad education themes. Family and Education This section consists of 14 papers, which are grouped in two subsections pre-school and adolescence. A main feature of these studies is the interest in the influence of the family, and especially that of parents, on childrenâs education and development more generally. The first subsection includes a collection of nine studies in the area of psychology of pre-school children, five of which have preschool education as their context. Eight of these studies have been carried out in Turkey. With the exception of one, which is based on mixed methods, the studies apply quantitative methods using questionnaires for data generation, large sample sizes and inferential statistics for the analysis of the data. In the paper of Aral et al. entitled An Investigation of the Social Behaviors of Children who Attend Pre-School Institutionsâ the authors aim to identify whether a number of variables, such as age, sex, having a working mother, the total duration of time spent in pre-school, and the education level of parents affect the social behaviors of four and five-year-old children who attend pre-school institutions in Ankara. The second paper by Aral et al. turns the focus to an examination of the anxiety levels of mothers whose children have been diagnosed with mental disabilities between the ages of 4-18 and the factors that may affect them. The study has been carried out in Ankara and the variables tested include the childâs gender, age, the date of first diagnosis, age of starting special education, as well as the motherâs age and educational level. The third paper by Boz and Ustun reports findings from a study that investigates the views of Turkish parents and preschool teachers on school readiness and makes recommendations on how to promote it and facilitate the adjustment of children in school. The fourth paper by Akyol and Vuslat is a research into the impact of variables, such as the childâs gender, the number of siblings, and the birth order, on parentsâ choice of preschool institutions in Ankara. Recommendations are made on how parents can make informed choices of preschool institution for their children. The paper by Saule and Bronislava draws on Vygotskyâs work and reports on an experimental study carried out in Lithuania that investigates whether the training in the development of two thought operations in seven-year-olds classificaiton and seriation leads to the same cognitive changes as the training in written language. The sixth paper by Durmusoglu and Erdem explores, among other things, the opinions of pre-school childrenâs parents in Ankara on why children should read books, the criteria they apply when buying books, the activities they carry out while and after reading books with their children, and their views about the advantages and disadvantages of existing pre-school education books. The seventh paper by Onay and Aktas evaluates Turkish mothersâ knowledge about breast-feeding applications and their ability to put their knowledge into practice. Among the variables examined for their effect on the breast-feeding behaviours of mothers are the motherâs age, educational level, number of children, and sequence of birth. The paper by Unal reports on a study conducted in Antalya to determine the use of computers by children aged 3-6 years and their parentsâ perception of their childrenâs using computers. The relation between the childrenâs gender and age on the one hand and their computer usage on the other, are also examined. The final paper in this section by Baran et al. presents results from a questionnaire survey, which explored the implementation of maths activities by teachers in preschool education institutions in Ankara. The study investigates, among other things, the teaching methods used inc. individualised instruction techniques, their frequency of application, and the involvement of parents in such activities. The subsection on adolescence includes five papers, four of which are based on quantitative research that makes use of questionnaires for data generation and which is carried out in Turkey. As an exception, the first paper reports on a study conducted by Dipane in South Africa and investigating the effects on adolescent schoolgirls of a progressive pregnancy termination legislation TOP introduced in 1997. This is a qualitative study based on interviews with educators of female adolescents and focusing on effects, such as health risk and psychological/behavioural effects. The second paper by Gursoy and Bicakci explores whether the socio-economic level, the number of siblings, the motherâs education level, and the relationships with family and friends create any differences in the perception of the family environment among adolescents in Ankara. The paper by Akyol and Ayhan entitled The Study on Empathic Skills of Adolescentsâ presents results from a study carried out in Ankara to determine the empathic skills of adolescents attending high school and to find out differences on the basis of factors, such as socioeconomic level, gender, and parental education. The paper by Gursoy and Aydogan explores the effects of sex, age, family income, parental education, the type of music listened, and the frequency of listening to music on the assertiveness levels of high school students. The last paper in this section by Gursoy and Bicakci reports on a study that analyses the anxiety levels of using alcohol and non-using alcohol adolescents and examines whether the variables of gender, socioeconomic level, and parental education create any variation. Pedagogy This section consists of 17 papers, which are grouped in three subsections learning, teaching, and assessment. The majority of these papers present studies carried out in Turkey and in Slovenia. A common characteristic of these studies is that they have been conducted in the context of formal education and examine aspects of the learning/instructional process. The first subsection, on learning, includes a collection of papers with a variety of methodologies. The first paper by Pehlivan and Atamturk reports on a quantitative survey carried out in Cyprus that explores the attitudes of Turkish Cypriot student teachers towards learning Greek and the Greek culture. The next paper by Araz and Sungur is based on an experimental study carried out in Turkey and investigating the effects of problem-based learning on elementary pupilsâ understanding of genetics. The third paper by Hus presents findings from a study carried out in Slovenia, which examines whether the pupilsâ activities that promote learning differ between environmental education on the one hand, and early science and social studies on the other. The study is based on systematic observation in the first grade of four elementary schools. The paper by Justin entitled School Textbook Research A New Methodâ discusses the so-called relevance theoryâ in textbook research, focusing on the cognitive and epistemic effects that history textbooks in Slovenia can have on students through communicating implicit meanings. The two last papers in this subsection present research carried out in higher education. The paper by Wilkin et al. from Belgium examines the ways information technologies especially the Internet are incorporated into studentsâ academic day-to-day information-seeking activities. The paper applies mixed methodology and also examines whether studentsâ information-seeking behaviours are patterned by academic disciplines and year of study. The paper by Pinheiro from Portugal analyses the role played by simulation in the learning processes of vocational higher education. The paper is a case study on the impact of a course that employs this methodology at a University in Portugal, involving the perspectives of employers, academic staff, students and graduates. The second subsection, on teaching, starts with a paper by Cadez from Slovenia that investigates how successful primary school pupils are in interpreting graphical representations of addition/subtraction. The study uses both quantitative data generated with the help of mathematical tests and qualitative data generated through interviews with pupils. The next two papers examine the teaching of geography. The paper by Demiralp entitled Historical Development of Geography Education in Turkeyâ discusses modern geography in education in Turkey and in particular, the stages it has been through until today, the position it is in now, the problems it faces, as well as some possible solutions. The paper by Gulec and Metin presents results from a study that recorded the methods of teaching the basic concepts of geography to children between 4 and 6 years with the view to assessing their effectiveness. Two more papers in this section examine the teaching of handcrafts education in Turkey. The paper by Alp and Ozdemir investigates the teaching programmes of handcrafts education taken by young students following four-year diploma courses in Turkish universities. The paper by Soylemezoglu et al. discusses the role of education in transferring the culture of Turkish handicrafts to the next generations and in raising peopleâs ability of producing high-quality products. The situation of handicrafts education in Turkey and existing teaching systems are explained. The last three papers in this subsection have consumer education in Turkey as their subject. The paper by Ozdemir et al. discusses the increasing consumption of biotechnological foods and proposes a model for sustainable consumption education. The paper by Ozgen et al. entitled Media, Materialism and Socialization of Child Consumersâ reports on a study that examines questions concerning consumer socialisation in relation to materialistic values and mass media especially television commercials and provides detailed knowledge for parents, consumer educators and public policy-makers. The paper by Purutcuoglu and Bayraktar focuses on consumer education in Turkish secondary schools concerned with the skills, attitudes, knowledge and understanding needed by individuals, such that they can make full use of the consumer opportunities present in the marketplace. Opportunities to teach consumer education in other areas of the curriculum, such as home economics, religion, culture, and moral education are also discussed. The third subsection, on assessment, starts with a paper by Alper and Baris from Turkey dealing with the assessment of student performance in Web page design and in particular, exploring the reliability and validity of rubrics, tools used for assessing complex performance in a way that gives input and feedback to improve such performance. The paper by Jereb and Bernik entitled Comparing Studentsâ Readiness for E-examinations in 2004 and 2005â is about taking electronic exams and investigates the readiness of students for taking such exams through a questionnaire survey. The paper by Milena and Marija from Slovenia outlines results from an empirical, questionnaire-based, research that examines the degree of democratisation of grading knowledge assessment during Slovene and mathematics lessons and compares the views of teachers and pupils in the primary school. Initial Teacher Training This section consists of seven papers on the initial training of teachers. The first three papers focus on teacher professionalism and self-efficacy/self-esteem. They present findings from quantitative research carried out in Turkey, using questionnaire-generated data that have been analysed with appropriate statistical methods. The paper by Akyol and Aslan reports on a research into the attitudes of inservice and preservice teachers of early childhood education towards their profession and the level of their professional self-esteem. Among other things, the authors examine whether some variables, such as the reasons for choosing the teaching profession, professional seniority, and whether a teacher works full- or part-time, have an influence on his/her attitudes towards the profession and their professional self-esteem. The paper by Ercan and ĂstĂŒn examines the attitudes of trainee teachers attending an English Certificate Programme towards the profession of teaching. The paper by Topcu and Yilmaz-Tuzun reports results from a study on the effects of self-efficacy beliefs and epistemological worldviews on preservice science teachersâ epistemological beliefs. Turning the focus to Anglo-Saxon research, the paper by Brunkhorst discusses a research agenda for Science Teacher Preparation in the United States. The paper by Hinchion explores the place of narrative in the pre-service training of teachers at the University of Limerick, Ireland. It explores, especially, the area of autobiographical narrative, as a symbolic action for reflective practice with students of teaching. The paper by Emery Bruneau from Canada examines the relation of literature teachers in training to culture and its influence on their relation to literary reading and on the development of the subject-reader. This paper draws on a doctoral dissertation of which parts of theory and methodology are presented. Finally, in the paper by Cremen and Cremen from Ireland entitled Counselling, Energy, Movementâ the authors present findings from a study in which they integrated movement, energy and bodywork with an interpersonal and intrapersonal focus into the learning environment of three university modules on student teachersâ personal development and counselling. A phenomenological approach to research was adopted and findings include a broad spectrum of vignettes from the evaluations, observations and student feedback. InService Education This section includes six papers on inservice education, four of which have teachers as their target group. The first two papers examine the nutrition knowledge of teachers in Ankara, Turkey. The paper by Ozcelik and Ormeci assesses the nutrition knowledge of nursery teachers using questionnaires for data generation. The effects of factors such as age, education status, marital status, duration of teaching, and nutrition classes attended, are explored. The paper by Sabbag et al. investigates the nutrition knowledge of elementary school teachers using both interview techniques and questionnaires for data generation. The third paper by McPherson entitled Web-Based Tools for Teacher Educationâ describes the use of web-based tools at the New York Institute of Technology, School of Education which covers a wide geographical area to perform administrative and instructional/assessment tasks and to teach students from various sites in the same section of a course. The fourth paper by Flores and SimĂŁo presents findings from a research carried out in Portugal, which investigates the ways in which teachers learn in the workplace and how they feel about it and the factors that hinder or facilitate their professional growth. Data are generated through questionnaires and semi-structured interviews. The paper by Nikolou-Walker reviews, as a case study, the introduction of a work-based and experiential learning paradigm within the police service. As opposed to the traditional organisational training processes, this paradigm aims to create an open environment that promotes informal learning. The last paper in this section by Whitmarsh discusses ethical principles and codes of practice in cross-disciplinary research with children and young people in the UK. The paper relates to the need for educational researchers to create cross-disciplinary ethical spaces that will enhance future studies. Management This section includes 12 papers grouped in two subsections educational management and business management. The first subsection, on educational management, starts with two American studies. The first study by Marcos entitled Affective Leadership in a Data Driven World The case for Strengths-Based Training for Educational Leadersâ examines the perceptions of public and private school leaders on the effects their top five identified strengths have on their leadership skills, using questionnaire-generated, quantitative, data. The second study by Clark and Bordinaro from California State University is a mixed-methods study of the challenges faced by first year high school principals in urban areas. The next two papers report on studies carried out in Sub-Saharan Africa. The paper by Neema-Abooki focuses on total quality management and the governance structures of universities in Uganda. The study is a cross-sectional survey based on a large sample of respondents, which concludes that the governance of universities in the region, though basically bureaucratic, incorporates elements of subsidiarity and that the institutions are disposed to a total quality, people-based, management culture. The next paper by Milonzo looks critically into the principalâs role in the development of programmes for the teaching staff in the far north of the Limpopo province, South Africa. The study analyses responses from a number of questionnaires given to school principals and teachers. The paper by Silman and Celikten examines what difficulties women principals at the state schools in Kayseri, Turkey, experience throughout their administrative careers in terms of their family life, responsibilities, personal qualities and what role gender plays in their experiences. A qualitative research method is used based on data generated through an interview schedule. The paper by Bjarnason reports on a mixed-methods research carried out at the Iceland University of Education in cooperation with parent and professional associations of all Icelandic students labelled with intellectual disabilities. The findings demonstrate both strengths and weaknesses in inclusive schooling practice with regard to the structural organisation of schools, pedagogical practices, and the social relationships between disabled and non-disabled learners. The paper by Nordin et al. examines the effects of an internally-initiated assessment policy in a Malasian university on the facultyâs acceptance, expectation, as well as curriculum and assessment planning. The effects of the intervention are being assessed on the basis of workshops conducted for the faculty to self-evaluate the new practice and through individual interviews and presentations of group work, among other things. The paper by Dhillon outlines findings from a study into partnership working in the field of post-compulsory education in England. Drawing on a qualitative case study of a sub-regional partnership of providers of education and training, the discussion focuses on the role of trust and shared norms and values in sustaining a partnership. The study tracked the lifecourse of the partnership over five years and used multiple methods for data generation, such as observation, analysis of documents, and semi-structured interviews. The paper by Gotsis describes how information technology policies and infrastructure affect curriculum and pedagogy in new media arts programmes at five types of American educational institutions. The essay examines problematic policies and infrastructure as they apply to each new media arts programme in each type of school, and discusses how they affect the effectiveness of curriculum and teaching from different points of view student, faculty and staff. The last paper in this subsection by Stivachtis from Virginia Polytechnic Institute & State University entitled Globalization and the Responsibility of the Internationalâ Universityâ discusses the effects of globalisation on universities and how the latter can deal effectively with the pressures of internationalisation. The second subsection, on business management, consists of two papers from East Europe. The first paper by Andrzejczak entitled Managerial Education in Poland after 1990â presents the main direction of quantitative and qualitative changes that took place in managerial education in the 1990s in Poland and determines the extent to which they satisfy the requirements of managersâ labour market. The second paper by Mithans from Slovenia discusses critiques from the business world and the academia that management studies lack scientific rigour and that are not of much use to practitioners. The paper shows that although business schools have reacted to these critiques by amending their curricula and adding subjects that would make business studies more relevant, the core curriculum and ideology have stayed unchanged. Consequently, the critiques have remained the same. Initiatives and Futures This section includes 16 papers that elaborate on new policy initiatives implemented within the educational systems of various countries. The papers are grouped in three subsections early years; lifelong learning; and training and education. The first subsection, on early years, starts with two papers from the UK. The first one by Nasou explores how the Green Paper Every Child Mattersâ is implemented in her school and its implications on Curriculum, Pedagogy and Assessment. Starting from the specific, in this case her school, and moving to the more general elements of curriculum, pedagogy and assessment the author attempts to find out influences, positive or negative, outcomes and ways of the Green Paperâs application. The next paper by Ross-Watt entitled Inclusion in the Early Years Policy into Practice in Primary 3â recounts the third stage of an on-going case study into the experiences of Heather, a girl with Spina Bifida, who requires assistance to meet her additional support needs. The setting is a mainstream Scottish primary school, identified as embodying good inclusive practice. The paper seeks to provide a better understanding of the complex relationship which exists between policy determined nationally, practice implemented at classroom level and the experience of the child herself. The third paper by Devjak and Vogrinec from Slovenia shows different points-of-view of experts about the importance of graduate pre-school teachersâ competencies. The authors' argument is that the competencies acquired at university are both insufficient and unsatisfying for pre-school teachers, as well as their employers, who participated in an empirical research with the intention to establish what kind of competencies determine the university qualification and what is the relation between the actual and the desired qualifications of pre-school teachers. The research was based on questionnaire-generated, quantitative, data. The last three papers in this subsection present studies from Turkey. The paper by Babadogan discusses the primary school catch-up curriculumâ, a transition programme provided to children aged between 10-14 who either quit elementary school or never enrolled before, in order to catch-up with their peers through an intensive, individualised curriculum and to come back to formal education. The paper evaluates the most basic outcomes during its implementation period. The paper by Aktas et al. examines the permanence of the effect of applied nutrition education on pupilsâ nutritional knowledge and behavior 10 months after a programme. The permanence of pupilsâ nutritional knowledge is determined via a standardised test, while their nutritional habits are determined through a questionnaire. Pupilsâ anthropometric measurements are also taken. The last paper in this subsection by Akyol et al. studies preschool teachersâ inclusion practices of science and nature activities in their daily educational programmes in Turkey, using a large sample of female preschool teachers. The data are generated through a questionnaire. The second subsection, on lifelong learning, starts with two papers from Slovenia. The first paper by Cepar and Trunk entitled Population Ageing, Education and Mortality The Case of Sloveniaâ analyses the implications of an ageing society for the education demand and supply side and the consequences for the educational labour market in the country. The authors use statistical data from official national databases, as well as data from surveys conducted particularly for the purposes of this research. The potential benefits and other consequences of Europass are also examined. The second paper by Gomezelj Omerzel et al. discusses the system of validation of non-formal and informal learning NIL. It presents the results of empirical research, aimed at investigating 1 the existing practice of NIL applied by five Slovenian employers and their motivation to co-operate in the system for validation of NIL, and 2 the number of competencies that employees from five Slovenian employers developed through NIL. The third paper in this subsection by Gaynard presents the methodological issues surrounding a research project concerned with mature graduate womenâs perceptions of their lives and educational experiences. The research uses a combination of quantitative questionnaire and qualitative lifelines and interviews methods, and is carried out in the UK. The fourth paper by Misut from Slovak Republic focuses on an educational reform that transformed the administration and financing of regional schools in the country. The reform forms part of the overall decentralisation of public administration and focuses on the redistribution of powers between the State and the local government. The paper makes recommendations about how the Faculty of Education of Trnava University FoE, as an institution preparing future teachers for pre-primary, primary and secondary schools, should reflect the changes connected to the reform at all education levels. The third subsection, on training and education, starts with a paper by Du Toit et al. entitled Education, Jobs and Skillsâ, which discusses the existence of a gap between the labour marketâs changing requirements in South Africa and the education systemâs way of preparing the countryâs youth for a career. The next paper by Cech is based on some pedagogical work carried out in Social Care together with persons with learning difficulties. The aim is, together with the person with learning difficulties, to view their knowledge, and based on their own life experiences, to work for their empowerment. During a period of ten years, four to six persons with learning difficulties have, together with the researcher, and through interactive talks with each other, reflected over the knowledge they have gained from their own life experiences. The third paper by Birnbaum and Papoutsis Kritikos presents a partnership between Northeastern Illinois University and the Chicago Public Schools CPS that addresses the shortage of special education teachers in CPS and in the city of Chicago, through an innovative field-based programme. In this project, individuals with degrees outside of education work as full-time interns in CPS, serving students with disabilities, as they complete Illinois teacher certification requirements and degrees in special education. The next paper by Silitsky presents a case study that illustrates how service learning was successfully incorporated into a graduate counseling course Group Therapies. Excerpts reflecting student perceptions of the projects, client evaluations, agency/community feedback, and descriptions of course assignments are provided. The paper by Clarke presents a study that evolved from a small-scale piece of research where small groups of five or six students participated in some research involving discussion and close textual analysis of an article that was relevant for a particular assignment. What emerged as a spin-offâ from the intended research was the fact that the students were much more willing to share information and exchange ideas in smaller groups. The concept of competitiveness had disappeared and an ethos of collaboration prevailed. The last paper in this section by Karababa and Celik aims to explore learnersâ perceptions opinions towards teacher and learner-centered learning approaches in terms of in-class interaction in a language teaching environment. Including randomly assigned experiment and control groups, the study gathers data from the freshmen students taking a Turkish syntax lecture via a questionnaire and an interview. Both groups involved in the study are asked about their feelings, disappointments, recommendations, and criticisms about the teaching. Treatment is completed in five weeks and the data are analysed by statistical techniques. So far, we presented a general overview of the papers included in this volume. It is particularly encouraging that the 2006 education conference of the Athens Institute for Education and Research brought together presentations of research work from a broad spectrum of countries. The studies reported here have been carried out in East and Western Europe, Asia, Africa, and North America. By reading these papers, one can identify the main issues that preoccupy educationists in the respective countries. Among the fields of study, common across countries, are early years education mainly with regard to the social and cognitive development of the child, adolescence psychology, and inclusive education for people with special educational needs. There is also international interest in the use of e-technology in educational practice. In the context of formal education from primary through to higher education the focus is mainly on learning and teaching methodologies, as well as in assessment techniques. Policy-related research is still in the forefront of the government agenda in many countries of the world and mainly focuses on early years and post-secondary education. A main concern of the researchers is the translation of their findings into policy and practice. There is an issue of the existence of a gap between policy initiatives and the actual experiences of those at the receiving end of education, teachers and pupils. In terms of methodology, there is a predominance of quantitative research that includes large scale questionnaire surveys, experiments, and systematic observations. Such studies are mainly carried out in East Europe Slovenia and Turkey. The factors most frequently examined for their effect on educational outcomes are demographic and socioeconomic variables. Qualitative methods, such as ethnographic research or case studies applying, among others, in-depth interviews have a more limited application. They are preferred by researchers in Western Europe and North America England, Scotland, Ireland and the United States. In most cases, qualitative methods are applied as part of mixed methods designs, in combination with quantitative techniques. We hope that the international conferences on education organised by the Athens Institute for Education and Research will continue to attract researchers from an increasing number of countries and will remain truly international. We also hope that the conferences will offer an attractive environment for sharing and discussing research findings, exchanging thoughts and ideas, identifying issues for further investigation, developing new research questions, and overall, furthering the study in the field of education. At the same time, it is our aspiration to create a multicultural environment of friendship and enjoyable social Saint-Jacques Claude LessardMarie-Claude RiopelRĂ©sumĂ© Cet article rend compte des reprĂ©sentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum, sous lâangle de leur comprĂ©hension de la culture et celui des maniĂšres de lâintĂ©grer, telles quâelles se dĂ©gagent de donnĂ©es dâune enquĂȘte menĂ©e au printemps 2000. Lâanalyse rĂ©vĂšle une comprĂ©hension diversifiĂ©e et bipolarisĂ©e de la culture; le rejet dâune conception Ă©litiste, lâimportance accordĂ©e Ă la culture immĂ©diate de lâĂ©lĂšve et Ă lâouverture au monde tĂ©moignent dâun souci de rendre la culture accessible Ă tous. Les maniĂšres dâintĂ©grer la dimension culturelle sont Ă©galement variĂ©es, mais relĂšvent essentiellement de contenus Ă vĂ©hiculer plutĂŽt que de stratĂ©gies dâenseignement, et comme soutien aux apprentissages plutĂŽt que comme Ă©lĂ©ments du GohierRĂ©sumĂ© Cet article porte sur les rapports qui diffĂ©rencient enseignement et culture selon la culture de rĂ©fĂ©rence. Un premier clivage existe entre les tenants de la transmission du patrimoine culturel et les dĂ©fenseurs de la pĂ©dagogie centrĂ©e sur lâenfant ; un second, entre les promoteurs dâune conception Ă©ducative axĂ©e soit sur les compĂ©tences, soit sur la culture. Ces conceptions ne sont pas nĂ©cessairement dichotomiques, comme le montre la rĂ©cente rĂ©forme de lâĂ©ducation au QuĂ©bec. Toutefois, les concepteurs des programmes de formation nâont pas rĂ©pondu au voeu de rehaussement culturel formulĂ© par le groupe de travail sur la rĂ©forme du curriculum. Aussi, la culture doit-elle reprendre la place qui lui Ă©tait assignĂ©e, lâenseignant Ă©tant considĂ©rĂ© comme un passeur culturel et comme le lieur du sensĂ© au senti dans le cadre dâune Ă©ducation Ă la comprĂ©hension et Ă la relation. Denis SimardCet article tente de contribuer a la clarification dâune approche culturelle de lâenseignement. Lâauteur prend pour cadre de reference lâhermeneutique contemporaine, en particulier lâhermeneutique representee par Gadamer et Ricoeur. Il presente six principes hermeneutiques et examine la pertinence de cette approche au regard de la fragmentation et de la dispersion qui caracterisent la culture actuelle et qui affectent en profondeur la culture scolaire et le role de lâenseignant comme mediateur de culture. Lâauteur degage enfin les consequences de cette approche sur la mise en place des conditions dâune pedagogie de la BAUTIERLâexpression rapport au langage » est aujourdâhui souvent employĂ©e en didactique, ou plus largement dĂšs quâil sâagit de penser les productions et comprĂ©hension des Ă©lĂšves autrement quâen termes de compĂ©tence, dâacquisition de formes ou de mise en oeuvre dâopĂ©rations cognitives et langagiĂšres, mais elle est rarement dĂ©finie dans ses filiations et ses composantes, ou dans ce quâelle apporte de spĂ©cifique pour comprendre les productions des Ă©lĂšves. Nous tentons ici une telle explicitation en la rĂ©fĂ©rant Ă la problĂ©matique qui a conduit Ă construire cette notion, celle de la diffĂ©renciation dans les apprentissages scolaires, en montrant les ruptures thĂ©oriques et de conceptions que cette notion nous semble impliquer, en la liant Ă la question des rapports entre dĂ©veloppement du sujet et langage. Parce que cette notion convoque diffĂ©rentes dimensions du sujet qui sont Ă lâoeuvre dans les situations scolaires, elle devrait permettre de tenter de conserver cette complexitĂ© lors de lâanalyse des situations et des productions de langage. Vitor MatiasTamara LemeriseDany Lussier-DesrochersRĂ©sumĂ© Cet article vise Ă faire le point sur les perceptions et les intĂ©rĂȘts des enseignants concernant le partenariat entre les musĂ©es et les Ă©coles secondaires. Un questionnaire a Ă©tĂ© distribuĂ© dans 16 Ă©coles francophones de la rĂ©gion de MontrĂ©al. Les rĂ©pondants N = 202 se diffĂ©rencient selon le sexe, l'anciennetĂ©, la matiĂšre, l'ordre d'enseignement. La plupart des enseignants reconnaissent le rĂŽle Ă©ducatif des musĂ©es dans le dĂ©veloppement et l'apprentissage des 12-17 ans. Toutefois, le manque d'information sur ce qu'offrent les musĂ©es et les difficultĂ©s d'organisation des sorties sont les principaux Ă©lĂ©ments relevĂ©s pour expliquer la faible utilisation des musĂ©es. Les rĂ©sultats sont discutĂ©s en lien avec les Ă©crits recensĂ©s et les initiatives rĂ©centes prises au QuĂ©bec en matiĂšre d'Ă©ducation et de soient dans une classe devant leurs Ă©lĂšves, dans une Ă©quipe de travail ou Ă une rĂ©union de parents, prĂ©parant un cours ou discutant avec un collĂšgue de tel Ă©lĂšve, telle approche ou tel support didactique, les enseignants dĂ©codent et interprĂštent, choisissent et rejettent, exposent, transmettent, Ă©coutent, s'interrogent, provoquent, concilient, relancent la discussion ou corrigent le tir, approuvent l'intervention d'un Ă©lĂšve, aident un autre Ă exprimer son point de vue. Si c'est lĂ un travail de professionnels, alors la profession d'enseigner est une profession intellectuelle, Ă la condition de ne pas prendre ce terme pour synonyme de pure rationalitĂ©, d'analyse ou de calcul. Car interprĂ©ter, c'est choisir parmi plusieurs possibilitĂ©s une signification qui, pour un moment prĂ©cis, semble convenir ; choisir, accepter, rejeter, revenir sur ce qu'on a Ă©cartĂ©, abandonner ce qu'on a acceptĂ©, conduire les Ă©lĂšves d'un domaine du savoir Ă l'autre, rendre leurs actes de tous les instants conformes aux conventions sociales sans brimer les libertĂ©s individuelles, prononcer des jugements sur la base d'informations partielles, voilĂ ce que Bourdieu appelle une logique de la pratique. C'est lĂ que les enseignants puisent leurs critĂšres, une partie de leur savoir, les fondements de leur action. Les textes rĂ©unis dans ce collectif mettent en relief quelques-unes des facettes du travail des enseignants et le montrent comme une profession essentiellement culturelle et intellectuelle.
BABII. KAJIAN TEORI . 2.1 Konsep Pembelajaran IKSAN (Inkuiri, Kreatif, Sosial, Aktif, dan Nyata).. Kata âIKSANâ adalah singkatan dari inkuiri, kreatif, sosial, aktif, dan nyata. Baik Inkuiri, kreatif, sosial maupun aktif adalah pembelajaran yang berorientasi pada teori pembelajaran konstruktivistik, artinya, dalam pembelajaran IKSAN diharapkan agar siswa
Responterhadap kurikulum dan pembelajaran di perguruan tinggi ini dapat dilihat dari banyaknya aturan yang memayungi penerapan kurikulum baru, misalnya UU No.14 Tahunn 2005 tentang Dosen dan Dosen, UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Peraturan
perkembangansain maupun sosial-kultural masyarakat kekinian. Sebab, bagaimanapun juga eksistensi dakwah Islam senantiasa bersentuhan dengan realitas sosial yang mengitarinya.5 Tulisan ini difokuskan untuk mengurai sebuah deskripsitentang penyikapan sekelompok akademisi terhadap dakwah radikal. Adapun
PEMBAHASAN A. Pengertian Perbandingan Pendidikan. Penggunaan istilah âperbandingan pendidikanâ atau âpendidikan perbandinganâ, merupakan terjemahan dari istilah âComparative Educationâ dalam bahasa Inggris, sebagaimana istilah âComparative Religionâ diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan âPerbandingan agamaâ.
AnekaPendekatan Studi Agama - Peter Connolly di Tokopedia â Promo Pengguna Baru â Cicilan 0% â Kurir Instan.
PENGERTIANILMU SOSIAL,METODE ILMIAH,DAN KEBENARAN ILMIAH. A. PENGERTIAN ILMU. Mungkin tidak berlebihan jika seorang filsuf Oxford University kontemporer Jerome R.Ravert dalam karyanya The Philosophy of Science ,sampai saat ini mengakui bahwa ilmu merupakan sbuah kisah sukses luar biasa. Selain itu, di Indonesia menurut The Liang Gie
. 29ul6suyg4.pages.dev/36629ul6suyg4.pages.dev/8229ul6suyg4.pages.dev/12729ul6suyg4.pages.dev/27129ul6suyg4.pages.dev/44229ul6suyg4.pages.dev/46829ul6suyg4.pages.dev/31929ul6suyg4.pages.dev/363
pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya